TOTABUAN.CO BOLMONG —Ibrahim Nata, Kepala Desa Labuang Uki, semakin menunjukkan kualitas kepemimpinan yang jauh dari etika, hukum, dan akal sehat. Melalui pernyataanya di media sosial, ia membanggakan diri telah mengusir sejumlah warga, termasuk perempuan berinisial NL, dari kampungnya. Sebuah tindakan memalukan yang memperlihatkan betapa sempit dan dangkal cara berpikir seorang pemimpin desa ini.
Ibrahim mengklaim, tanpa dasar hukum yang sah, bahwa desanya adalah desa adat dan karenanya, ia merasa berhak menentukan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus disingkirkan. Ini bukan hanya kesalahan fatal, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.
Sikap seperti ini layak disebut sebagai kedunguan kekuasaan ketika seseorang merasa jabatan kepala desa memberinya kuasa mutlak atas hidup orang lain.
Padahal, kepala desa seperti Ibrahim Nata seharusnya tahu atau setidaknya membaca bahwa kepala desa bukanlah raja kecil. Ia hanya pelayan masyarakat yang digaji oleh negara untuk melayani warganya, bukan mengusir mereka sesuka hati.
Lebih parah lagi, Ibrahim tidak hanya mengusir warga, tapi juga menyerang karakter NL seorang perempuan korban dugaan penganiayaan oleh seorang Bhayangkari dengan pernyataan menyudutkan di media sosial.
Alih-alih menunjukkan empati atau sikap netral sebagai aparat desa, Ibrahim justru memfitnah warganya sendiri. Ini adalah tindakan tidak beradab, tidak beretika, dan pantas disebut sebagai penyalahgunaan wewenang secara terang-terangan.
Apakah Ibrahim lupa bahwa negara ini memiliki hukum? Atau memang dia merasa kebal dan tidak tersentuh karena statusnya sebagai kepala desa?.
Jika seorang kepala desa seperti Ibrahim Nata terus dibiarkan bertindak seenaknya tanpa sanksi, maka rusaklah tatanan demokrasi di tingkat akar rumput.
Masyarakat harus berani bersuara, dan aparat penegak hukum wajib turun tangan. Pengusiran sepihak, fitnah terhadap korban, dan arogansi kekuasaan seperti ini tidak boleh dibiarkan tumbuh di desa mana pun di republik ini.
Desa Labuang Uki tidak butuh penguasa hanya butuh pemimpin. Dan jelas, Ibrahim Nata telah gagal total memenuhi syarat paling dasar untuk disebut sebagai pemimpin. (*)