TOTABUAN.CO BOLMONG– Kedok hiburan rakyat di arena pasar malam GGC, Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), perlahan terbongkar. Di balik gemerlap lampu dan dentuman musik, terselip praktik perjudian berkedok permainan ketangkasan yang kini membuat warga murka.
Hampir setiap malam, arena yang seharusnya menjadi tempat rekreasi keluarga berubah menjadi ajang taruhan uang. Permainan seperti bola giling dan ketangkasan lain beroperasi bebas, bahkan hingga lewat tengah malam. Aktivitas ini bukan lagi rahasia semua orang di sekitar tahu, namun tak ada yang berani bertindak.
“Ini bukan hiburan, ini perjudian terang-terangan,” sembur seorang warga dengan nada penuh kecaman.
Ia menuturkan, kegiatan tersebut sudah berjalan hampir sebulan. Para pelaku beraksi bebas tanpa takut hukum.
“Anak-anak kecil ikut menonton, bahkan mencoba bermain. Moral masyarakat rusak. Kami muak dengan pembiaran ini,” tegasnya.
Keresahan warga Mopuya kini berubah menjadi kemarahan terbuka. Mereka menilai aparat dan pemerintah desa seolah menutup mata terhadap praktik yang meresahkan itu.
“Kalau polisi diam, masyarakat bisa hilang kepercayaan. Ini perjudian, bukan permainan,” ucap seorang tokoh masyarakat dengan nada tajam.
Nada serupa disampaikan salah satu tokoh agama di Desa Mopuya yang ikut mengecam keras aktivitas pasar malam yang disusupi unsur perjudian.
“Tempat hiburan yang mengandung perjudian harus ditutup tanpa kompromi. Ini pelanggaran hukum dan bentuk pembodohan masyarakat,” tegasnya.
Menurutnya, aktivitas semacam ini adalah bentuk penghinaan terhadap penegakan hukum di daerah.
“Polres Bolmong jangan menunggu laporan resmi. Ini sudah cukup bukti. Warga resah, moral rusak, hukum dilecehkan. Jika dibiarkan, artinya aparat ikut berdiam di tengah kejahatan,” sindirnya tajam.
Kini, wajah hiburan rakyat di Mopuya tercoreng. Di balik musik dan lampu warna-warni, masyarakat melihat nyata bukan tawa, melainkan taruhan. Warga menunggu langkah tegas apakah Polres Bolmong berani menutup sarang judi ini, atau justru membiarkannya tumbuh menjadi luka baru di tengah masyarakat Dumoga Utara. (*)