TOTABUAN.CO BOLMONG — Kasus pemindahan NL secara sepihak oleh Ibrahim Nata Kepala Desa Labuang Uki Kecamatan Lolak, seharusnya menjadi alarm serius bagi seluruh Sangadi (kepala desa) di Bolaang Mongondow (Bolmong). Bukan hanya karena tindakan itu melanggar prinsip dasar pelayanan publik, tetapi juga karena sejarah telah mencatat akibat fatal dari sikap sewenang-wenang yang serupa.
Masih segar dalam ingatan, kasus yang terjadi di Desa Ambang Dua, Kecamatan Bolaang, pada tahun 2021. Saat itu, OP, Sangadi aktif, ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian karena memindahkan warga tanpa izin dan tanpa prosedur yang benar. Ia akhirnya ditahan, menyusul laporan Frangky Laleno, warga yang menjadi korban kebijakan sepihak.
Frangky mengaku tidak pernah mengurus surat pindah, apalagi memiliki keluarga di alamat tujuan yang ditetapkan Kairagi, Manado. Yang lebih mencengangkan, pemindahan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan sekretaris desa dan tanpa proses administrasi yang semestinya.
Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
Kepala desa bukanlah raja kecil yang bebas menentukan nasib warganya semena-mena. Jabatan Sangadi adalah amanah, bukan kekuasaan. Ia ditunjuk dan dipilih untuk melayani masyarakat, bukan untuk mengatur hidup mereka tanpa persetujuan. Pemindahan administrasi kependudukan bukan perkara kecil. Ia menyangkut hak sipil seseorang hak atas tempat tinggal, hak memilih dalam pemilu, hingga akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Maka, setiap keputusan dalam ranah ini harus diambil secara transparan, adil, dan sesuai aturan.
Kejadian demi kejadian seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak kepala desa yang belum memahami sepenuhnya batas-batas kewenangan mereka. Di sinilah pentingnya peran Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) serta Camat dalam melakukan pengawasan aktif dan pembinaan rutin terhadap para Sangadi.
Jika tidak, tindakan sewenang-wenang bisa terus terulang dan masyarakat akan terus menjadi korban.
Masyarakat bukan sekadar angka dalam data kependudukan. Mereka adalah subjek dalam pembangunan desa. Suara mereka penting. Kehendak mereka harus dihormati. Ketika ada pemindahan tanpa persetujuan, itu bukan hanya pelanggaran hukum itu pelecehan terhadap hak asasi manusia.
Sudah saatnya para pemimpin desa sadar, bahwa kekuasaan bukan untuk disalahgunakan. Jabatan adalah kepercayaan. Jika tak mampu menjaga amanah, maka konsekuensi hukum bukanlah ancaman, tapi keniscayaan.
Jangan sampai satu kepala desa mencoreng nama baik ratusan Sangadi lain yang bekerja dengan tulus dan melayani dengan hati. (*)