TOTABUAN.CO BOLMONG —Ketika seorang warga datang ke kantor polisi dengan membawa keresahan, harapannya sederhana: didengar, dilindungi, dan diproses sesuai hukum. Namun, hal itu tampaknya tidak berlaku bagi NL, warga Desa Labuan Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Apa yang dialami NL bukan sekadar keluhan biasa. Ia datang membawa laporan dugaan penganiayaan. Tapi, yang ia terima justru penolakan halus dengan arahan untuk kembali menyelesaikan masalah di tingkat desa. Tanpa alasan jelas. Tanpa penerimaan laporan. Dan lebih parah, tanpa rasa tanggung jawab.
Dari desa, NL justru menghadapi diskriminasi. Bukannya diberi perlindungan atau keadilan, ia malah diminta keluar dari kampung sendiri. Ini bukan hanya soal penganiayaan, ini soal hak sebagai warga negara yang diabaikan oleh aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan publik: Polsek Lolak.
Polsek Lolak, di bawah kepemimpinan AKP Novi Maleke, dinilai gagal menjalankan fungsi dasarnya menerima dan menindaklanjuti laporan warga. Fakta bahwa laporan NL baru diterima pada 14 Agustus setelah satu bulan mencari keadilan menjadi bukti lemahnya respons institusi ini.
Informasi yang berkembang menyebut, laporan NL ditolak karena diduga kasus penganiayaan melibatkan seorang Bhayangkari. Jika benar, ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi bentuk pembiaran terhadap potensi konflik kepentingan dalam institusi hukum.
Saat dikonfirmasi, AKP Novi Maleke justru menyebut bahwa berdasarkan laporan bawahannya, NL tidak pernah datang melapor ke Polsek.
“Untuk lebih jelas, saya akan cek lagi apakah benar NL datang melapor di Polsek,” ujarnya.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Polsek Lolak tidak memiliki sistem dokumentasi kunjungan dan aduan warga. Apakah seorang Kapolsek harus menunggu publik ramai dulu untuk turun cek fakta.
Setiap institusi kepolisian memiliki SOP pelayanan publik. Dalam kasus penganiayaan, laporan harus diterima tanpa kecuali. Namun dalam kasus NL, SOP seolah hanya jadi formalitas. Ketika warga tidak dilayani, artinya kepercayaan publik sedang runtuh, dan itu bukan masalah kecil.
Pelayanan di tingkat Polsek seharusnya menjadi barisan terdepan dalam penegakan hukum, bukan malah menjadi tembok pertama yang mempersulit warga.
Kasus ini bukan hanya tentang NL. Ini tentang bagaimana wajah kepolisian di mata masyarakat kecil. Jika seorang warga harus berjuang sendiri hanya untuk didengar, maka ada yang salah di sistem.
Sudah saatnya Polsek Lolak berbenah. Masyarakat membutuhkan polisi yang hadir dan responsif, bukan yang abai dan defensif. Jangan sampai kepercayaan publik hancur hanya karena ketidaksiapan menerima satu laporan. (*)