TOTABUAN.CO BOLMONG — Untuk meningkatkan pemahaman Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kecamatan terkait pelaporan dugaan pelanggaran Pemilihan Serentak Tahun 2024 (Pilkada), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) menggelar rapat koordinasi Selasa 17 Juli 2024.
Rakor tersebut ikut dihadiri Komisioner Bawaslu Provinsi Sulut Donny Rumagit yang juga Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian sengketa didampingi Ketua Bawaslu Bolmong Radikal Mokodompit serta Sekretaris Bawaslu Wahyudi Rauf.
Donny memaparkan, pelanggaran dalam pilkada kadang sulit dihindari. Pelanggaran bisa disengaja atau karena kelalaian, dan semua pihak memiliki potensi untuk melakukannya.
“Dalam pelaksanaan Pilkada, terdapat berbagai jenis pelanggaran seperti administratif, pidana, dan etik. Panwaslu Kecamatan bertugas menerima, memeriksa, dan memberikan rekomendasi terkait hasil penanganan pelanggaran untuk ditindaklanjuti,” kata Donny.
Mantan wartawan ini juga menekankan pentingnya Bawaslu Kabupaten Bolmong menyelesaikan penanganan pelanggaran paling lama 5 (lima) hari kalender sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilihan.
Langkah pencegahan termasuk koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelum dan saat tahapan berlangsung, serta pengawasan yang cermat dan teliti.
“Koordinasi yang baik dengan KPU sangat penting untuk memastikan pengawasan berjalan efektif,” tambahnya.
Dengan demikian, langkah-langkah ini diharapkan dapat memastikan Pilkada 2024 berjalan dengan adil dan transparan bagi seluruh pemangku kepentingan.
Donny menekankan, Panwascam hingga PKD, untuk mengawal potensi pelanggaran tahapan proses pencocokan data pemilih (Coklit) yang sedang berlangsung.
Ketua Bawaslu Bolmong Radikal Mokodompit mengatakan, Bawaslu Bolmong telah melakukan pemetaan kerawanan dan pengawasan.
Faktor kerawanannya meliputi ketaatan prosedural, administrasi kependudukan, hingga geografis.
Potensi kerawanan coklit presedural yakni petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) tidak melakukan tugasnya secara langsung dan tak sesuai regulasi.
‘’Misal dengan isu joki atau digantikan orang lain. Contoh yang jadi pantarlih istrinya tapi yang bekerja suaminya. Ini tidak boleh. Selain itu, karena merasa sudah kenal lingkungan sekitar jadi tidak turun ke lapangan dan diisi di rumah hingga menitipkan stiker bukti coklit ke ketua RT (rukun tetangga). Ini hal yang rawan,” bebernya.
Radikal menegaskan, pantarlih harus melakukan secara langsung doord to door atau dari rumah ke rumah.
Sedangkan, untuk kerawanan administrasi kependudukan, lanjut dia, bisa terjadi pada kasus orang meninggal dunia. Yakni tidak dilengkapi akta kematian dan masih terdata.
Kemudian, pemilih pemula sudah memenuhi syarat. Namun, tidak dilengkapi dokumen pendukung.
Hingga adanya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak mendapatkan surat kerangan dari pihak berwenang.
‘’Biasanya, maaf, ini juga menjadi kerawanan dan tantangan. Karena bisa jadi keluarga tidak berkanan anak atau anggota keluarganya di data,” katanya. (*)