TOTABUAN.CO POLITIK — Upaya Aditya Anugerah Moha (ADM) untuk maju pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024, kembali gagal.
Hal itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan yang diajukan oleh Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ini.
Sebelumnya, Aditya Anugrah Moha mengujikan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada sebagaimana telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Pada sidang pendahuluan Perkara Nomor 54/PUU-XXII/2024, ADM melalui kuasa hukumnya, Imam Nasef menyebutkan kasus konkret bahwa saat ini pemohon berstatus mantan terpidana sejak 7 Oktober 2021 sehingga dalam jangka waktu 5 tahun hingga 7 Oktober 2026 tidak dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024.
Imam mengatakan, pemohon sebenarnya telah memperoleh dukungan dan berpotensi untuk diusulkan oleh partai politik untuk menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah Tahun 2024 di Sulawesi Utara. Namun adanya ketentuan persyaratan pendaftaran calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang harus melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini menghalangi cita-cita pemohon.
“Padahal pemohon telah menjalani masa pidana selama 4 tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan Jakarta Pusat tertanggal 6 Juni 2018. Dan pada 7 Oktober 2021 lalu, berdasarkan surat lepas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Jawa Barat Lapas Kelas I Sukamiskin, pemohon telah dibebaskan karena masa pidananya telah selesai dijalankan, dan denda Rp150.000.000 subsider 2 bulan telah dibayar Lunas pada 26 Februari 2020 lalu.
Pada permohonan yang diajukan mantan anggota DPR RI ini yakni tentang Pasal 7 ayat (2) huruf g yang termuat dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan PP Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU Pilkada sebagaimana telah dimaknai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Berdasarkan situs mahkamah konstitusi yang diposting Rabu (21/8), sidang pengucapan putusan bernomor 54/PUU-XXII/2024 ini digelar di ruang sidang pleno MK Selasa (20/8) dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi tujuh hakim konstitusi.
MK dalam pertimbangan hukum putusan mengatakan permohonan ADM yang memohon agar masa tunggu 5 (lima) tahun dapat dikecualikan terhadap terpidana yang tidak dicabut hak politiknya oleh putusan pengadilan sekalipun tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terpidana diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih, adalah hal yang tidak berdasar.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendirian, bahwa masa tunggu 5 (lima) tahun hanya dapat diberlakukan terhadap terpidana tindak pidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak dapat diberlakukan terhadap terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana yang diancam pidana paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun. Sebab, pengelompokan ancaman pidana antara paling tinggi (maksimal) 5 (lima) tahun dengan ancaman 5 (lima) tahun atau lebih, secara doktriner adalah batas yang secara universal dijadikan parameter untuk menentukan jenis tindak pidana yang berat dan tidak berat.
Dengan demikian, hal ini sejalan dengan semangat pembatasan yang memberlakukan masa tunggu adalah disebabkan karena kategori bobot atau berat/ringannya tindak pidana yang terbukti telah dilakukan oleh terpidana.
Sehingga, menurut Mahkamah dalil pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk menilai kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, tanggal 11 Desember 2019, dengan menghilangkan syarat “masa tunggu 5 (lima) tahun bagi terpidana yang tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, meskipun telah terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih” adalah tidak beralasan menurut hukum. (*)
Sumber: Situs MK
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21468