TOTABUAN.CO BOLMONG — Diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahannya sendiri. Itu karena asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada 15 daerah di Sulut seperti Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) yang belum sepenuhnya menerima kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat. Berbaagi program dan kebijakan, kerap terkangkangi oleh kebijakan pemerintah tingkat atas. Padahal diberlakukannya undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggaraan urusan pemerintahannya sendiri.
Di Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktiknya kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat belum sepenuhnya sesuai dengan keinginan daerah.
Akademisi Sulawesi Utara Ferry Liando mengatakan, kebijakan Otonomi daerah belum efektif terutama jika diukur dari tujuan awal.
Ketua Jurusan ilmu pemerintahan Fisip Unsrat Manado ini, mengatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 5 yang dimaksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Namun dalam praktiknya kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat belum sepenuhnya sesuai dengan keinginan daerah.
“Saya melihat kebijakan Otonomi daerah belum efektif terutama jika diukur dari tujuan awal,” tuturnya.
Tujuan Otonomi daerah lanjutnya, untuk membentuk kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Mulai dari peningkatan kualitas pelayanan publik, penyerahan kewenangan seluasnya terkecuali untuk bidang tertentu seperti agama, moneter, pertahanan dan keamanan maupun politik luar negeri.
Namun belakangan optimisme otonomi daerah yang lahir dari rahim reformasi menjadi pesimis karena kebijakan yang terkangkangi oleh kebijakan pemerintah provinsi dan pusat karena terkesan setengah hati.
Hal tersebut dapat dicermati dengan seringnya berganti aturan undang-undang yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Namun kendati begitu, ada beberappa kendala juga yang terlihat sebagai alasan pemerintah pusat. Menurutnya, sebagian kepala daerah lanjutnya tidak memilik visi yang jelas dalam membangun daerah. Kebanyakan berorientasi memperkaya diri. Bahkan untuk menyuarakan untuk merevisi UU Otda, tidak menjamin selama 3 hal tadi tidak diperbaiki,” ungkapnya.
Selain itu terjadi tumpang tindi kewenangan antara Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota. Ego sektoral sangat dominan. Titik berat otonomi daerah tidak jelas apakah di Provisni atau di kabupaten kota. Pola koorindiasi juga masih sangat lemah.
“Kenapa sebagian kewenangan pemerinhan daerah mulai diambil alih oleh pemerintah pusat. Karena banyak kewenangan dianggap tidak mampu dikelola oleh pemerintah daerah,” tandasnya.
Sebelumnya Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokaogow menilai, pelaksanaan otonomi daerah berjalan setengah hati dan tidak dilakukan secara total. “Sejauh ini pelaksanaan otonomi daerah masih setengah hari,” kata Yasti.
Berpuluh tahun otonomi daerah berjalan sejak Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, hingga berganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Yasti, pelaksanaan otonomi daerah dapat lebih baik jika pemerintah usat diberikan kewenangan dalam menjalankan tugas di wilayah masing-masing.
“Kalau daerah diberikan kewenangan dalam menjalankan kebijakan tanpa terkangkangi kebijakan provinsi dan pusat, maka akan semakin mudah untuk mewujudkan tujuan otonomi itu sendiri,” ujar Yasti.
Pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah hanya fokus untuk melayani masyarakat dengan baik dan cepat. Layanan itulah yang ada pada daerah-daerah otonom, tambahnya.
Dia mencontohkan, potensi sumber daya alam di Bolmong yang begitu besar, namun belum bisa terkelolah dengan maksimal karena terkangkangi kebijakan pemerintah provinsi bahkan pusat.
Tokoh mudah Bolaang Mongondow Raya Icu Sugiarto SH, menilai pemerintah perlu lebih membenahi sistem pelaksanaan otonomi daerah (otda). Sebagai contoh keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, yang bisa membuat tumpang tindih proyek pemerintah.
Selain itu, dengan keberadaan UPT pemerintah pusat tersebut menimbulkan kesan, pemberian otda seakan masih setengah hati.
“Oleh sebab itu pula pemerintah daerah tidak bisa leluasa mengurusi daerahnya sesuai asas Otda, karena peraturan pemerintah pusat,” tuturnya.
Dia juga mengritisi sikap pemerintah pusat yang terkesan tidak tulus dalam menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah. Padahal perundang-undangan hanya lima hal yang tidak boleh diurusi daerah, antara lain urusan hubungan luar negeri, moneter/keuangan, agama, pertahanan dan keamanan.
Tapi kenyataannya, menurut Icu, urusan lain di daerah tetap dicampuri, pemerintah pusat. Misalnya, upaya untuk mencari sumber dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). (*)