TOTABUAN.CO, KOTAMOBAGU—Dewan Pastoral Paroki (DPP) Kristus Raja Kotamobagu menggelar seminar sehari bertajuk “Karakter Pendidikan”, Sabtu 24 Agsutus 2013 lalu di Aula Santa Ursula-Kotamobagu. Seminar sehari ini menghadirkan pembicara tunggal, yakni Pastor Prof Dr Yong Ohoitimur MSC.
Seminar yang dimoderatori oleh Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Manado, Pastor Damianus Pongoh Pr itu, diikuti oleh lebih dari 100 orang guru Katolik dan non-Katolik. Para guru ini tercatat mengajar di sekolah-sekolah Katolik se-Kevikepan Stella Maris (Kabupaten Bolmong, Boltim, Minahasa Selatan, serta Kota Kotamobagu).
Pastor Yong Ohotimur mengemukakan, salah satu tuntutan dari kurikulum 2013 adalah pendidikan karakter. Bahwa dalam semua mata pelajaran pada pendidikan dasar dan menengah, guru-guru perlu memfasilitasi anak untuk mengembangkan kompetensi inti integratif. Yaitu sikap terhadap Tuhan, sesama manusia, alam, kemudian pengembangan pengetahuan dan ketrampilan kerja.
“Pengetahuan dan ketrampilan dapat dikembangkan serta dilatih. Sementara sikap terhadap Tuhan, sesama manusia dan alam, itu dilatih melalui pendidikan karakter. Untuk itu guru perlu memahami dan menjalankan pendidikan karakter,” papar mantan Rektor Universitas Katolik (Unika) De La Salle Manado ini.
Karenanya, guru-guru harus belajar punya karakter yang baik. Harus dimulai dari dalam diri guru bersangkutan, dan dibantu oleh pihak sekolah melalui karakter sekolah.
Seminar ini membuka wawasan guru-guru, mengenai apa itu karakter dan apa itu pendidikan karakter. Dan sangat penting, mengapa dibutuhkan pendidikan karakter sekarang ini,” tandasnya.
“Guru-guru harus berproses untuk mengembangkan karakter positif, sebelum mereka membantu anak didiknya mengembangkan karakter si anak didik. Langkah berikutnya, sekolah seharusnya bekerjasama dengan orangtua. Bentuk kerjasama itu, berupa guru dan sekolah harus mensosialisasikan karakter-karakter yang akan dikembangkan di sekolah bagi anak, supaya didukung oleh orangtua,” harap Ohoitimur.
Ia pun kemudian memberikan contoh kecil. Guru di sekolah mengajarkan kepada si anak didik untuk tahu menghormati orang lain, cinta damai, tidak bermusuhan, bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan agama dan budaya. “Itu harus dipraktikkan juga di rumah. Di sekolah, guru juga harus melatih anak tahu menjaga kebersihan. Itu juga harus anak lakukan di rumah. Kalau di sekolah, guru membantu maka demikian halnya di rumah orangtua harus membantu anaknya. Di situlah poin kerjasama antara guru atau sekolah dengan orangtua,” katanya lagi.
Karena itu, pendidikan karakter akan timpang apabila hanya ditangani oleh satu pihak. “Jadi seharusnya pendidikan karakter harus dimulai dari rumah, dikembangkan lanjut di sekolah. Persoalannya, saat ini banyak orangtua yang tidak lagi mendidik anaknya. Terpaksa beban ditimpakan oleh negara kepada pihak sekolah. Padahal itu sesungguhnya terbalik,” sesal Ohoitimur.
“Dalam keadaan tersebut, kita patut bersyukur karena guru-guru mau menjalankan itu. Tapi guru-guru saja tidak cukup, harus dengan orangtua. Maka orangtua harus digandeng. Caranya, orangtua diundang untuk disosialisasi mengatasi masalah si anak. Orangtua pun diharapkan bersedia bekerjasama, demi masa depan anak mereka,” pungkasnya