TOTABUAN.CO, KOTAMOBAGU— Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotamobagu Nayodo Koerniawan menguraikan secara singkat, kronologis masuknya Djelantik ke dalam DCT, berawal dari pengumuman DCS (Daftar Calon Sementara) yang diajukan 12 parpol peserta Pileg oleh KPU.
Pengumuman terhadap 267 calon sementara itu menghasilkan satu tanggapan masyarakat. Tanggapan masyarakat itu ditujukan kepada caleg dari Partai Golkar di Dapil (daerah pemilihan) Kotamobagu 3 atau Kecamatan Kotamobagu Barat Effendi Mokodompit yang tak lain adalah adik kandung Djelantik.
Effendi dilaporkan oleh masyarakat ke KPU mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA) partai politik ganda.
“Kami kemudian meminta klarifikasi dari Partai Golkar. Nah, pada pemasukan DCSHP (Daftar Calon Sementara Hasil Perbaikan), ternyata Partai Golkar mengganti nama Effendi dengan Djelantik. Karena Djelantik adalah pejabat negara (walikota), maka kami melakukan verifikasi. Salah satunya ke DPRD Kotamobagu,” jelas Nayodo.
Dari hasil verifikasi tersebut, KPU Kotamobagu mendapat data bahwa surat pengunduran diri Djelantik telah dimasukkan ke DPRD Kotamobagu sejak 26 Juni 2013.
“Selanjutnya, berdasarkan surat keterangan yang ditandatangani Ketua DPRD, menerangkan bahwa surat pernyataan pengunduran diri itu dibacakan di sidang paripurna DPRD pada tanggal 30 Juli 2013. Sesuai aturan yang ada, itu memenuhi syarat karena telah lebih dari satu bulan,” ujar Nayodo.
Akan tetapi, agar pada saat akan mengambil keputusan nanti pihaknya tidak melakukan kekeliruan. Sehingga, dilakukannya kajian berjenjang, terutama terhadap surat keterangan dari Ketua DPRD Kotamobagu Rustam Sihaan.
“Dalam PKPU maupun peraturan pemerintah (PP No 18 Tahun 2013) menegaskan bahwa setiap pejabat negara yang akan menjadi bakal calon anggota legislatif, tegas menyatakan yang bersangkutan harus mengundurkan diri,” terang Nayodo.
“Mekanisme pengunduran diri itu tentu berproses. Sehingga ada klausul lain dalam peraturan tersebut menyebutkan, pada proses menunggu terbitnya SK pemberhentian yang bersangkutan, ada keterangan dari pejabat yang berwenang. Memang ada multi-tafsir pada “pejabat yang berwenang”. Undang-undang maupun PP tidak tegas menyebutkan siapa pejabat yang berwenang itu. Namun KPU tidak perlu terlalu masuk ke ranah itu, akan tetapi lebih mengedepankan hak konstitusi warga negara. Yaitu berhak dipilih dan memilih,” tandas Nayodo.
Peliput Hasdy Fattah