TOTABUAN.CO-Anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah menyesalkan banyaknya pengamat yang membuat pernyataan menyesatkan dan cenderung memprovokasi masyarakat terkait harga bahan bakar minyak (BBM). Apalagi, pernyataan tersebut tidak didasarkan atas fakta dan data yang akurat.
Inas mengatakan, salah satu pernyataan yang kontroversial terkait BBM ini adalah soal harga Premium Ron 88 yang seharusnya dijual Rp3.800 per liter dan Solar 48 menjadi Rp3.650 per liter. Alasannya, harga tersebut mengacu pada harga di bursa minyak Singapura, yakni bensin Ron 95 hanya Rp 5.000-5.500 per liter dan Solar 51 dengan sulfur maksimal 50 ppm hanya Rp 4.500-5.000 per liter.
Menurut Inas, pernyataan tersebut sangat mengada-ada dan provokatif. Karena faktanya, harga BBM di Singapura justru jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia. “Dari mana data tersebut? Pernyataan itu sangat berbahaya dan menyesatkan masyarakat,” kata Inas.
Menurut Inas, selain tidak didukung data akurat, tudingan tersebut juga sangat bertentangan dengan fakta yang ada. Kondisi yang sebenarnya, lanjut Inas, harga RON 95 di Singapura pada Jumat (26/2) sebesar 1,98 dolar Singapura per liter. Dengan kurs dolar Singapura sebesar Rp 9. 585, maka harga BBM jenis RON 95 di negara tersebut adalah Rp 18.978 per liter. “Saya baru saja memantau harga tersebut. Jadi, dapat data dari mana dia? Jadi pengamat jangan asal omong. Memalukan bangsa ini. Biasakan elegan, mengkritisi dengan data dan fakta yang benar. Bukan membuat opini dengan tujuan membuat kegaduhan,” tandasnya.
Ia juga menegaskan, soal harga solar di Singapura juga tidak akurat. Karena, solar di Singapura justru lebih mahal daripada RON 95, yakni sekitar dua dolar Singapura atau Rp 19.170. Selain itu, terkait maksimal kandungan sulfur juga tidak tepat. Bukan 50 ppm, namun di Singapura maksimal 10 ppm. Batasan konsentrasi kandungan sulful tersebut jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia, yakni 3.500 ppm.
Karena itu, Inas menduga, pernyataan tersebut sengaja untuk membuat kegaduhan. Tujuannya jelas, untuk menjatuhkan pemerintahan saat ini. “Kita ini sedang membangun. Tolonglah memberi masukan yang konstruktif, berikan data yang valid. Bukan malah menjadikan suasana keruh,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean juga menyesalkan pernyataan, yang membandingkan harga BBM di Indonesia dan Singapura. Alasannya, lanjut Ferdinand, faktor penentu harga BBM, termasuk masalah berbagai pungutan, juga berbeda di kedua negara tersebut. “Saya tidak sependapat, terlebih dengan menyebut adanya manipulasi harga. Karena konotasi manipulasi berarti terdapat unsur pidana,” tandas Ferdinand.
Ferdinand juga mengingatkan, bahwa dengan harga minyak dunia sebesar US$ 28-30 per barel, sektor hulu Pertamina sebenarnya mengalami kerugian. Kerugian itu bisa diprediksi, karena rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan Pertamina sebesar US$ 30 per barel. Bahkan di offshore, ada yang mencapai US$ 40 per barel. “Nah, jika harga jualnya saja sama atau di bawah biaya produksi, bisa dipastikan bahwa tahun ini Pertamina akan mengalami kerugian,” paparnya.
Itu sebabnya, Ferdinand bisa memahami, jika pemerintah tidak terburu-buru menurunkan harga BBM. Sebab, keuntungan di sektor hilir tersebut, bisa dipergunakan untuk menutupi kerugian di sektor hulu. Subsidi silang itu penting, agar kinerja Pertamina tidak terganggu. Bisa dibayangkan, jika kinerja Pertamina terganggu dan tidak bisa mendistribusikan BBM. Selama tiga hari saja tidak ada BBM, kata Ferdinand, negara kita akan kacau.