TOTABUAN.CO-Publik mengenalnya sebagai Pasha Ungu ketimbang nama aslinya Sigit Purnomo Said.
Setelah tenar sebagai penyanyi dengan segala kisah pribadinya, kini publik luas (termasuk, ehm para kontributor media massa di Sulawesi Tengah) harus menerima Pasha sebagai pejabat negara.
Pada Pemilihan Walikota Palu (Provinsi Sulawesi Tengah) yang berlangsung pada 9 Desember 2015, pasangan Hidayat-Sigit yang diusung oleh Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa itu menang dengan perolehan suara mencapai 37 persen.
Di awal-awal masa tugasnya, Bapak Wakil Walikota Sigit Purnomo (izinkan selanjutnya
tetap disebut: Pasha) sudah membuat heboh. Tentu saja bukan lagi soal beredarnya foto sosok yang mirip dirinya sedang berpose mesra dengan public figure cantik jelita. Bukan pula soal kesukaan bermain golf yang ingin diteruskan di kampung halaman. Bukan pula kabar-kabur soal hadiah tas mahal buat seseorang. Apalagi, tentu bukan pula soal adu bogem yang menyeret ke persoalan pidana. Tentu saja ini menyangkut soal yang lebih mutakhir, soal Pasha yang bukan artis.
Mengutip ucapan Sigit Purnomo a.k.a Pasha Ungu, Saya ini sekarang sudah pejabat, Apapun statusnya terkini, tindak-tanduk Pasha yang (merasa) bukan artis itu tetap saja menyedot perhatian. Pertama adalah responsnya saat hendak diwawancara yang membuat wartawan tak nyaman dan bahkan merasa terlecehkan. Berikutnya adalah kemarahan Pasha yang tertuju kepada para pegawai Pemerintah Kota Palu saat sang Wakil Walikota memimpin upacara. Tapi ah, sudahlah.
Apapun latar belakangnya, Pasha semestinya (sepertinya ia pun mengharapkan) diperlakukan sama dengan para kepala daerah lainnya di seluruh Indonesia. Bahwa Pasha adalah pilihan rakyat secara langsung, buah dari tingkat popularitas dan elektabilitasnya yang mengungguli pasangan calon lainnya. Bahwa Pasha kini sudah merupakan pejabat dengan segala aturan protokolernya. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Setiap kali pergantian kepemimpinan terjadi, di lingkup organisasi apapun, senantiasa
harapan melambung tinggi. Dalam konteks pemerintahan, hajatan pemilihan kepala daerah
senantiasa meniupkan kembali harapan tentang masa depan yang lebih baik. Pada hari-hari
pertama, (biasanya) pemimpin merasa perlu menanamkan impresi positif kepada anak buahnya.
Akan tetapi, banyak pemimpin yang menuai hasil tak optimal karena langkah pertama yang
gagal. Sebagian di antaranya karena ketidakpekaan merespons situasi yang pertama kali
dihadapi. Padahal, alih-alih sekadar menjadi bos yang hanya bisa memberi dhawuh (perintah), drana (hadiah), dan duka (marah); motor penggerak organisasi masa kini dituntut untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Pakar soal kepemimpinan dan pengembangan diri, Dale Carnegie mendefinisikan pemimpin yang efektif adalah generally someone that leads by example and other people just tend to follow because they believe what they do is the right thing. Mengutip pakar manajemen
Ichak Adizes, organisasi akan kian efektif manakala seorang pemimpin menaruh trust dan
memberi respect pada anak buahnya. Pemimpin haruslah menjadi ibu-jari yang menyatukan
jemari yang lain dan memberikan makna dan kekuatan genggaman tangan.
Sebagaimana disampaikan Carnegie, pemimpin yang baik senantiasa memberikan umpan-balik kepada anggota organisasinya. Pemberian umpan-balik kerap menjadi penentu kesuksesan atau kegagalan anggota. Umpan-balik tersebut bisa diberikan lewat berbagai cara, yakni lewat diam (silence), kritik, saran (advice), dan penguatan positif (positive reinforcement).
Memilih untuk hanya diam tentu saja berisiko, salah satunya adalah menjadikan anggota
organisasi menjadi tidak tahu pantas-tidaknya tindakan mereka. Sementara ketika kritik kerap disemburkan, bahkan jika dilontarkan dalam kata-kata menghina, tindakan tak patut dan merendahkan; yang terjadi adalah luka-menganga dalam hubungan antar-elemen organisasi.
Kepercayaan diri anggota organisasi akan menyurut, si bos akan mulai dihindari. Terciptalah kabut penutup yang menghalangi relasi yang baik antara seorang pemimpin dengan para anak buahnya. Kabut itu pun mengalahkan umpan-balik yang lain.
Yang terbaik tentulah umpan-balik berupa saran dan penguatan positif. Saran diberikan
sebelum peristiwa terjadi, sementara penguatan positif setelah sebuah peristiwa terjadi. Sebuah tepukan lembut di bahu bisa berarti banyak dan mendalam.
Dalam praktik sehari-hari, pemberian umpan-balik juga kerap disalahmaknai oleh pemimpin yang asal mengumbar penilaian atas hal-hal (besar dan kecil) yang dilakukan anak buahnya. Umpan-balik yang semestinya berkaitan dengan tindakan, perilaku, atau hasil yang diinginkan; akan tetapi ironisnya justru si bos kadang menyerang kepribadian anggota
organisasi. Pilihan timing yang tidak tepat juga menjadikan umpan-balik tidak mengena.
Pasha yang dulu dikenal sebagai artis penyanyi ternama (dan juga para pemenang pilkada lainnya) telah memilih jalannya: menjadi pejabat negara pilihan yang tentu menggendong konsekuensi, baik yang dikehendaki maupun yang sebenarnya tak diharapkan.
Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin, pada saat itulah ia harus melakoni takdir. Bahwa kekuasaan cenderung membawa lupa dan karenanya bisa menggelincirkan pemimpin ke tempat terbawah. Diam atau marahnya seorang pejabat negara (baca: pemimpin) adalah pertanda, sebuah umpan-balik kepada para anggota organisasi.
Dengan kesadaran akan takdir seperti itulah; berkuasa adalah amanah, tantangan menjadikan pribadi yang lebih mulia. Atau mau menjadi: Mulyo? No!