TOTABUAN.CO – Namanya Ismail dan ia berasal dari Rakhine, Myanmar. Dua hal itulah yang bisa diingat oleh pria berusia 25 tahun ini. Semua pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan kata-kata, ”Tak ingat.”
Tentang apa yang terjadi pada dirinya hingga mengalami kelumpuhan dan kehilangan ingatan, Ismail berkata tak ingat.
Ia adalah salah seorang korban perdagangan manusia yang kini ditampung di sebuah rumah singgah di sebuah kota kecil di perbatasan antara negara bagian Selangor dan Perak, Malaysia.
Menurut pengurus rumah singgah bagi korban perdagangan manusia ini, Alex Arokian, Ismail dipaksa berjongkok berjejalan di perahu yang membawanya dari Myanmar ke Thailand selama berminggu-minggu.
“Perahu ini penuh dengan orang begitu banyak sehingga ia tak bisa berdiri. Ia selalu berjongkok,” jelasnya.
Setelah sampai di Thailand, Ismail dan korban lain oleh kelompok kriminal dibawa ke hutan di perbatasan antara Provinsi Songkhla, Thailand, dengan negara bagian Perlis, Malaysia.
“Kamp di hutan begitu sempit dan tak ada tempat untuk bergerak. Para korban mendapat pukulan karena belum melunasi ongkos penyelundupan,” tambah Arokian.
Melunasi utang
Ismail, lanjutnya, diduga mendapat penyiksaan berat sampai ia mengalami trauma dan kehilangan ingatan.
Nasib buruk juga menimpa etnik Rohingya lain, Nurul Amin yang mengaku berusia 18 tahun.
Karena penindasan terhadap etnik Rohingya di Myanmar, ia tergiur tawaran agen yang menjanjikan pekerjaan di Malaysia dengan membayar 1.000 ringgit atau sekitar Rp3,2 juta.
Yang tidak dijanjikan agen adalah Nurul Amin atau keluarganya harus membayar lagi 6.000 ringgit jika ia sudah sampai di perbatasan Thailand-Malaysia.
“Kaki saya dirantai karena tak mampu melunasi biaya,” tuturnya.
Ketika ditanya siapa agen dan orang-orang yang merantai kakinya, ia bertutur, “Orang Rohingya.”
Kini ia mengalami nyeri berat pada kaki dan kesulitan untuk berlari. Bersama Ismail dan beberapa korban perdagangan manusia lain, ia menempati rumah singgah yang dijalankan oleh Alex Arokian.
Apa yang dialami oleh Nurul Amin terjadi pada September 2015, beberapa bulan setelah gelombang pengungsi dan migran yang ditinggalkan di laut dan setelah pihak berwenang Thailand maupun Malaysia mengaku telah meningkatkan upaya untuk memerangi perdagangan manusia menyusul peristiwa yang sempat menyita perhatian luas tersebut.
“Perbatasan kita panjang dan tak cukup anggota keamanan untuk mengawasi perbatasan ini,” kata Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Nur Jazlan Mohamed, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, di Putrajaya.
“Tapi baru-baru ini kerajaan (pemerintah) pada bulan November 2015 membentuk Agensi Keselamatan Sempadan (perbatasan) yang dijangka akan menggunakan semua tenaga anggota kawalan keselamatan yang ada dari kepolisian dan tentara supaya mereka dapat mengawal sempadan yang lebih ketat lagi.”
Perbatasan darat antara Thailand dan Malaysia menjadi salah satu titik yang mendapat pengawasan ketat menyusul penemuan sejumlah kuburan yang diduga korban perdagangan manusia.
Dan pengawasan itu, menurut anggota parlemen dari daerah pemilihan Padang Besar, Perlis, Datuk Zahidi B. Zainul Abidin, kini dapat dirasakan.
“Sekarang di kawasan tersebut, kita membuat kawalan yang sedikit ketat supaya tidak ada sindikat. Masalah mereka ini mereka lari melalui sindikat-sindikat tertentu yang memperdagangkan manusia,” kata anggota parlemen dari UMNO, partai terbesar dalam koalisi Barisan Nasional yang berkuasa.
Apa pun langkah-langkah yang ditempuh sekarang mungkin sudah terlambat bagi sebagian korban perdagangan manusia seperti Ismail dan Nurul Amin.
Ismail tak tahu apa yang akan dilakukannya dan ingatannya pun sudah hilang.
Adapun Nurul Amin merasa takut untuk keluar dari rumah singgah.
Sumber:bbc.com