Menjelang tengah malam, Senin (15/7) hingga dini hari Selasa (16/7) Kairo kembali memanas akibat penyerangan brutal aparat kepolisian dan kawanan preman bersenjata terhadap massa pendukung Presiden Mursi di di Ramsis Square, jantung kota Kairo, dan beberapa tempat lain seperti Nahda Square dan Ghamra.
Berdasarkan kesaksian beberapa demonstran kepada Aljazeera, penyerangan terjadi ketika demonstran melaksanakan shalat Tarawih. Demonstran diserang menggunakan senjata rakitan, senjata api dan gas air mata. Dua orang dinyatakan meninggal sementara lebih dari 300 orang mengalami luka-luka, sesak nafas dan mengalami patah tulang.
Ratusan orang terperangkap di dalam mesjid Al Fath, Ramsis yang dikepung oleh polisi dan komplotan preman. Menurut laporan Imam masjid kepada Aljazeera sekitar 1000 jamaah terperangkap dalam masjid tanpa makan sahur, sementara di luar para preman berkeliaran membawa senjata keras, dan senjata tajam.
Belum diketahui alasan pasti penyerangan ini, namun alasan terkuat adalah untuk membubarkan dan mengusir demonstran dari Ramsis.
Memasuki hari ke-12 pasca kudeta militer atas Presiden Mursi, jumlah demonstran yang menuntut pengembalian legitimasi kian bertambah. Di Kairo, demonstrasi berlangsung di beberapa titik seperti Rabea el Adawea, Nahda Square, Giza Square, bundaran Monib, wisma Garda Republik, Ramsis dan Istana Negara ‘Ettihadiyah’. Sementara di berbagai provinsi juga terjadi aksi damai massa menuntut pengembalian Mursi.
Sejak tiga hari belakangan militer begitu gencar menebarkan selebaran kepada demonstran berisi sanjungan kepada para pemuda, bujukan agar pulang ke rumah, janji jaminan keselamatan demonstran hingga ancaman menyuruh demonstran berhenti. Namun kejadian malam ini cukup mencoreng moralitas aparat kepolisian dan militer untuk kesekian kalinya di mata rakyat dan dunia. Pihak militer dan kementerian dalam negeri dituntut bertanggung jawab atas aksi brutal ini.
editor: eka pratama | sumber: dakwatuna.com