TOTABUAN.CO- Harga minyak dunia makin merosot di awal 2016 membuat biaya pengembangan energi baru terbarukan (EBT) menjadi lebih mahal. Namun, hal tersebut tetap harus berjalan untuk ketahanan energi masa depan.
Anggota Unit Percepatan Pembangunan Pengendalian Ketenagalistrikan Nasional (UPK3N) Agung Wicaksono mengatakan, harga minyak dunia yang menurun membuat, pengembangan EBT tidak bisa dipertimbangkan pada sisi ekonominya saja.
“Jangan pertimbangan ekonomi atau bisnis semata, saya bisa memahami,” kata Agung, dalam sebuah diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (31/1/2016).
Pemerintah telah menargetkan porsi EBT dalam bauran energi 2025 mencapai 25 persen. Karena itu, pengembangan EBT harus tetap berjalan untuk mencapai target tersebut dan ketahanan energi ke depan. “Dari segi kepentingan negara juga harus kita jalankan,” tutur Agung.
Agung menuturkan, PLN harus menyiapkan langkah khusus dan pemerintah juga akan membentuk badan khusus yang menangani EBT agar penggembangan EBT berjalan dengan baik.
“Intinya adalah PLN perlu menyiapkan langkah khusus. Bisa dan di situlah negara ikut turun, tidak membiarkan PLN mengambil sendiri, pemerintah akan membuat suatu badan usaha khusus untuk EBT, jangan dilakukan dari kebijakan bisnis semata,” tutur Agung.
Harga minyak mentah light sweet untuk pengiriman Maret ditutup naik 40 sen, atau 1,2 persen pada US$ 33,62 per barel di New York Mercantile Exchange, penutupan tertinggi sejak Januari 6. Brent, patokan global, naik 85 sen, atau 2,5 persen, ke US$ 34,74 per barel di ICE Futures Europe, penutupan tertinggi sejak 5 Januari.
Namun kedua benchmark masih membukukan kerugian yang cukup besar untuk bulan ini. Minyak mentah Nymex kehilangan US$ 3,42, atau 9,2 persen, per barel pada Januari. Harga minyak Brent kehilangan US$ 2,54, atau 6,8 persen per barel.
Sumber ; Liputan6.com