TOTABUAN.CO-Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengungkapkan, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
“Ya sudah (masuk ke dalam Prolegnas 2016). Jadi kan belum kami ketok, kami akan rapat pekan ini atau beberapa hari sebelum pekan depan,” ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Yasonna menjelaskan, pemerintah sepakat untuk merevisi, alih-alih menerbitkan Perppu atau undang-undang baru, karena penerbitan Perppu akan memunculkan perdebatan. Menurutnya, tidak ada kegentingan atau kondisi yang memaksa hingga Perppu harus diterbitkan. Selain itu, jika ada poin yang tidak disetujui oleh anggota dewan, maka semua rancangan Perppu akan ditolak.
“Kalau Perppu itu ada DPR tidak setuju, nanti langsung batal semua. Sudah capai-capai kami buat, ditolak bubar semua. Tapi kalo revisi kan ada dialog, ada dialektika berpikir. Tapi kami sudah sepakat dengan DPR akan kami percepat,” katanya.
Langkah ini, imbuh Yasonna, didukung oleh komitemn Ketua DPR Ade Komarudin yang ingin memotong waktu reses dan tidak perlu melakukan studi banding, sehingga ada ruang waktu lebih banyak bagi pemerintah. Ia memperkirakan proses percepatan, paling lambat, hanya memerlukan dua masa sidang atau sekitar enam bulan.
“Itu kan paling (lambat), karena tidak terlalu banyak, saya kira bisa kami selesaikan secepatnya. Dalam waktu dekat pemerintah siapkan draf, segera kirim ke DPR. Kami harapkan direspons cepat,” ujarnya.
Selama menunggu proses itu, papar Yasonna, pemerintah juga bisa memantau orang-orang yang telah kembali dari Suriah dan mengerahkan aparat untuk mencari informasi intelijen yang masuk ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kemekumham.
“Langsung lihat, kami informasikan bahwa orang ini masuk. Imigrasi kami akan segera memberitahu aparat BIN dan BNPT tentang itu. Jadi kami ada data-data yang diberikan oleh BIN dan BNPT kepada Imigrasi. Itu yang kami anggap masuk daftar merah,” katanya.
Yasonna menyebutkan, di dalam revisi tersebut dibahas poin perluasan kewenangan pada aparat kepolisian untuk mengantisipasi potensi. Jika ada informasi intelijen yang didapat oleh BIN, ucapnya, maka lembaga itu harus menyerahkan informasi kepada Polri.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Saud Usman Nasution mengaku telah mengusulkan kepada Menkumham untuk melakukan revisi dan penyempurnaan, misalnya soal penyidikan penuntutan persidangan. Selain itu, diusulkan juga tentang kegiatan pencegahan, pembinaan, dan rehabilitasi untuk mengubah pola pikir para penganut paham radikalisme. Ia pun mengusulkan adanya beberapa persyaratan formal dalam revisi itu.
“Masa penangkapan yang awalnya 7×24 jam, diperpanjang jadi sebulan. Kemudian masa penahanan dari enam bulan menjadi sepuluh bulan, karena ini kan jaringan dan dibutuhkan waktu yang cukup,” ujarnya.
Sumber:cnnindonesia.com