TOTABUAN.CO – Guru Besar bidang Linguistik Universitas Mataram, Mahsun mengatakan, institusi negara yang menangani persoalan kebahasaan, perlu meningkatkan perannya. Jumlah bahasa lokal kita yang mencapai 659, dari jumlah itu sebagian besar terancam punah.
Dia menyebutkan, ada 11 bahasa yang masih dipandang aman dari jumlah penuturnya, yaitu bahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, Bugis, Batak, Minang, Melayu, Lampung, Madura, dan Aceh. Sedangkan yang mulai tergerus dan terancam punah terutama bahasa di kawasan timur Indonesia.
“Di Papua ada 307 bahasa yang semuanya berpenutur tidak sampai 50.000 dan ini sangat mengkhawatirkan
Contohnya bahasa Ibo di Maluku, bahasa Tandia di Papua Barat, bahasa tersebut sudah punah, penuturnya di bawah 5 orang dan hidup berpencar-pencar,” kata Mahsun kepada Suara Pembaruan, Selasa (12/1).
Mashun menyebutkan meskipun saat ini Badan Bahasa masih di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), namun seiring dengan kompleksitas masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan ke-Indonesiaan menuntut lembaga itu dapat memberi kontribusi pada aspek kehidupan berbangsa maka perlu ditingkatkan perannya.
Apalagi saat ini bahasa Indonesia dan bahasa lokal terancam punah. Salah satu caranya Presiden harus turun tangan dan perlu membentuk badan bahasa di bawah koordinasinya.
“Presiden perlu membentuk Badan Bahasa di bawah koordinasinya. Sebab bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah semakin terancam punah, maka institusi bahasa ini perlu ditingkatkan statusnya di bawah presiden,” kata Mantan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini.
Dia menambahkan, untuk menegaskan keadaan bahasa yang akan punah, dia merilis buku yang berjudul “Indonesia Dalam Perspektif Politik Kebahasaan” di Jakarta belum lama ini.
Dalam bukunya, dia menjelaskan apabila para pendiri bangsa telah mencanangkan lembaga resmi kenegaraaan untuk bahasa tentu akan sangat terlihat pada penegakan identitas keindonesiaan melalui bahasa yang meliputi sisi pemakaian bahasa di dalam negara dan minat pembelajaran bahasa itu di luar negara.
Dia meyakini penguatan pemakaian bahasa ini dapat memperkokoh komitmen keindonesian dalam negeri sedangkan penguatan bahasa Indonesia di luar negeri menunjukan kokohnya pengakuan bangsa lain atas keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Selanjutnya, dia menjelaskan, kompleksitas masalah kebahasaan ini juga terlihat di hasil Ujian Nasional Bahasa Indonesia jurusan IPA dan IPS 2014 lalu yang skornya di bawah 70 itu terjadi di wilayah yang masyarakatnya lebih mengenal bahasa Melayu yakni di Sumatera, Aceh, Papua dan Maluku.
Mahsun mengatakan, untuk menghindari masalah yang terjadi pada ujian nasional (UN). Pembelajaran bahasa asing kepada anak jangan dimulai dari Paud dan sekolah dasar (SD). Sebab di kedua jenjang ini dapat digunakan sebagai usia emas penanaman identitas keindonesiaan melalui pembelajaran bahasa Indonesia
“Kasus keluarga Paulina yang lahir dan dibesarkan di Indonesia namun tidak bisa bercakap dengan Bahasa Indonesia jangan sampai terjadi di keluarga lainnya. Namun bangsa ini tidak boleh anti atau alergi dengan bahasa asing juga,” tutur Mahsun.
Dia menduga, di Papua atau Aceh bahasa Indonesia tidak begitu populer dibanding bahasa Melayu.
Dia melanjutkan, Indonesia perlu berkaca ke Jepang yang hancur dari Perang Dunia II berusaha bangkit dengan politik identitas melalui penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Jepang.
“Setelah peradaban dan ekonomi mereka maju, mereka baru membuka diri untuk memahami identitas Negara lain. Salah satunya dengan membuka 38 tempat pembelajaran Bahasa Indonesia di negaranya,”ujar dia.
Selanjutnya, dia mengatakan, untuk memperluas pengakuan identitas Indonesia kepada bangsa lain pemerintah jangan berhenti pada pembukaan pusat pembelajaran saja. Namun memperbanyak sasaran penerima beasiswa untuk belajar di Indonesia. Begitu pula pemerintah jangan ragu untuk mempersyaratkan pekerja asing yang ingin bekerja disini untuk mampu berbahasa Indonesia.
Sumber: beritasatu.com