TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU—Peraturan daerah (Perda) nomor 4 tahun 2015 tentang pemilihgan kepala desa yang dilahirkan Pemkot Kotamobagu menimbulkan kontroversi. Sejumlah warga menilai ada sejumlah poin dalam Perda itu, ada yang janggal alias tak masuk akal.
Pemerhati Sosial Politik, Hendra Makalalag mengatakan, beberapa poin kejanggalan pada Perda Pilkades diantaranya pada pasal 59 penetapan calon kepala desa terpilih yang terterah dalam nomor 2 menjelaskan, dalam hal jumlah calon kepala desa terpilih yang memperoleh suara terbanyak yang sama lebih dari satu calon pada desa dengan TPS lebih dari satu, calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak pada TPS dengan jumlah pemilih terbanyak. Sama halnya juga pada poin nomor 3 di pasal yang sama, mengatakan bila mana, dalam hal jumlah calon terpilih yang memperoleh suara terbanyak yang sama lebih dari satu calon pada desa dengan TPS lebih dari satu calon terpilih ditetapkan berdasarkan wilayah tempat tinggal dengan jumlah pemilih terbesar.
Nah, dari dua poin di atas menurut Hendra, sangat tidak rasional dan potensi merugikan calon kepala desa yang bila mana memperoleh suara terbanyak tapi tak bisa dilantik.
“Dua poin Perda Pilkades itu sungguh tidak rasional, tidak dikaji dengan benar baru ditetapkan sebagai Perda. Seharusnya jika hasil pilkades calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak lebih dari satu calon maka pemilihan putaran kedua harus kembali dilakukan dengan calon yang memperoleh suara terbanyak yang sama, agar masyarakat puas dan menghindari potensi hal yang tidak di inginkan,” kata Hendra.
Tak hanya itu, Hendra juga menyoroti kinerja panitia Pilkades ditingkat pemerintah kota dalam hal ini bagian Tata Praja. Dia mengatakan, soal pengambilalihan anggaran pengadaan kelengkapan seperti kotak dan bilik suara ditiap desa yang tidak diserahkan sepenuhnya ke panitia tingkat desa.
“Seharusnya anggaran pengadaan untuk penyelenggaran Pilkades seperti pengadaan kertas suara, bilik suara dan kotak suara, diserahkan sepenuhnya kepada panitia di tingkat desa. Tapi di dalam Perda malah Pemkot dalam hal ini bagian tata praja yang ambil alih. Padahal sudah jelas di undang-undang otonomi desa mengatakan, bahwa desa berhak mengatur desa mereka masing-masing,” kata Hendra menjelaskan.(Has)