Oleh: Sofyanto
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan)
Selasa, 4 Agustus Walikota Kotamobagu mengadakan pertemuan dengan para petinggi PT. Telkomsel area Manado. Menu santapan dalam pertemuan hari itu, bertajuk utama keinginan Walikota menjadikan Kotamobagu smart city (kota cerdas). Kaget, heran bercampur takjub lompatan keinginan walikota itu diparuh waktu perjalanan pemerintahannya. Duga-duga pun merebak, lantaran visi kota model jasa dianggap tulah (baca: kualat) sehingga walikota berbalik arah dengan visi baru. Satu hal yang pasti, keinginan Walikota membangun Kota Kotamobagu berbasis teknologi tinggi tampaknya cukup serius dan pun tidak bisa dianggap sekedar wacana belaka.
Perusahaan computer IBM Amerika, Ikhwal pertama kali memperkenalkan konsep smart city ini. Tak kurang pemerintah Kota Copenhagen Denmark, Seoul Korea Selatan dan Barcelona pun telah menggunakan konsep ini. Di Indonesia sendiri, 10 kota besar telah berani menerapkan konsep smart city ini yang bisa dikatakan menjadi isu segar tahun 2015, sebut saja Bogor, Bandung, Surabaya, Jakarta, Makassar dan sebagainya.
Intinya, konsep smart city ini adalah mengintegrasikan komponen masyarakat, lingkungan, ekonomi, kesehatan, transportasi, budaya, pemerintahan ke dalam jaringan berbasis digital. Harapan besarnya, Kota Kotamobagu menjadi layak huni, kualitas hidup masyarakatnya lebih baik, reaksi pelayanan publik pemerintah lebih cepat dan modern, partisipasi publik pun dapat diandalkan, sumber data dan informasi lebih akurat tersaji. Enak didengar, seolah-olah pernyataan di atas identik dengan kenyataan nantinya.
NALAR KRITIS PUBLIK
Pada titik ini, setidaknya ada dua pertanyaan pokok yang perlu dijawab segera Pemerintah Kota Kotamobagu. Pertanyaan pertama, adakah masalah publik yang cukup serius selama ini, kriterianya sederhana saja selalu berulang terjadi dan begitu ruwet untuk diatasi, sehingga harus dipantau terus menerus (semisal, sampah, banjir, kejahatan, kemacetan, pelayanan publik tersumbat) ?. Dengan luas wilayah Kotamobagu yang tak lebih seukuran daun kelor, pun kentut di bilangan gerbang masuk Kotamobagu masih terdengar nyaring bunyinya di puncak bukit ilongkow maka menurut hemat saya urusan pantau memantau sebetulnya masih bisa dilakukan secara konvensional.
Berdasarkan fakta dan urut-urutan peristiwa, sejatinya, identifikasi awal masalah-masalah publik harus digelar lebih dulu dengan warga Kotamobagu sebelum walikota memutuskan menggunakan konsep smart city ini, belakangan berkesan kebijakan itu dilakukan terburu-buru pas benar. Alasannya sederhana, menu-menu aplikasi smart city harus sesuai dengan masalah masyarakat. Walhasil nantinya juga ini akan mempermudah aparatur sipil negara bekerja dalam mengelompokan data dan informasi yang masuk.sehingga dapat ditanggapi secara cepat dan tepat.
Celakanya sampai saat ini, pemetaan masalah publik itu tidak pernah digelar Pemerintah Kota Kotamobagu, akibatnya pandangan publik begitu samar cenderung gelap dan sekedar meraba-raba hulu – hilir konsep smart city ini. Sesumbar kota Kotamobagu smart city memperlihatkan konstruksi logika centang perenang yang dibalut.rupa-rupa kepentingan. Bisa jadi yang dibutuhkan masyarakat kotamobagu hanya aplikasi smart goverment karena tersumbatnya beragam jenis pelayanan pemerintah sedangkan aplikasi lainnya belum menjadi kebutuhan penting dan perlu diabaikan saja.
Dengan perspektif ini maka energi tidak akan terkuras habis di paruh waktu perjalanan pemerintahan TB-JaDi, berkutat dan berputar-putar dengan grand design besar smart city yang jelas-jelas butuh waktu yang panjang. Cara demikian menggambarkan secara utuh titik fokus pemerintah, peran masyarakat, jenis dan macam aplikasi teknologi yang digunakan serta besaran biaya yang terpakai nantinya.
Sampai disini kita bisa simpulkan konsep smart city ruang lingkupnya begitu luas dan dalam sehingga terus terang tidak akan selesai dalam satu periode pemerintahan TB-JaDi. Setidaknya butuh 20 – 30 tahun lagi konsep smart city akan berjalan bagus, di saat posisi pemerintah daerah, swasta dan masyarakat berada pada neraca keseimbangan dan sejajar satu dan lainnya.
Belajar dari pengalaman konsep green city yang selama ini digembar-gemborkan dengan aneka belitan masalah yang luar biasa mendera, maka dikhawatirkan nasib konsep smart city tidak akan berbeda jauh dan akan bernasib yang serupa. Takarannya sederhana dan sudah pasti, kondisi kelistrikan Kotamobagu yang relatif pasang surut 1 tahun belakangan ini akan menjadi biang keladi kegagalan perangkat elektronik smart city bekerja. Di situasi nadir ini bandul petaka pun mulai berdentang, beragam dalih dan kilahan akan diumbar ke ruang publik, saling menyalahkan satu dan lainnya bahkan mungkin cacian, umpatan dan sumpah serapah muncrat kemana-mana untuk sekedar membela diri dari kegagalan konsep smart city.
Terlepas sumpah serapah itu, pertanyaan kedua, bagaimana relevansi smart city dengan visi kota model jasa yang diusung pada pilwako lalu ? Mengingat sejauh ini visi tersebut belum terbukti, wajar masyarakat Kotamobagu perlu waspada dan mempertanyakan alasan rasional walikota mengusung konsep smart city. Nalar publik yang meruyak itu didasari kalkulasi bergunung-gunung uang akan digelontorkan lewat rekening rakyat APBD, sehingga rasanya cukup pantas dan sah diperdebatkan secara sengit.
Sebagai gambaran, pengadaan server, pengadaan puluhan aplikasi smart city (smart people, smart health, smart economi, smart goverment dsb), ratusan perangkat komputer, CCTV, sewa satelit, tenaga konsultan tidak bisa dinafikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari konsep smart city. APBD Kota Kotambagu jelas akan terdampak secara massif dari belanja modal itu, yang diperkirakan akan cukup mengganggu liquiditas keuangan daerah. Di ujung lain, kabar mengembirakan, dalam kerangka mencapai visi kota model jasa maka terdapat pilihan aplikasi smart economi yang dapat dikembangkan.
Sayangnya aplikasi ini tidak lebih hanyalah sekumpulan script perintah mirip tauge yang ditatakan dalam template aplikasi. Fungsi utamanya condong ke pola database, yakni menyimpan dan menyajikan data serta informasi. Artinya, aplikasi smart ekonomi hanya bersifat menu pelengkap (tidak lebih angkanya 10 persen) dalam mengejar visi kota model jasa. 10 persen itu, menyangkut data dan informasi seputar kredit bank berbunga rendah, prosedur dan biaya perizinan. 90 persen sisanya akan ditentukan lewat aksi-aksi pemerintah yang kongkrit dan terukur agar nantinya visi kota model jasa tidak menjadi seonggok sampah yang haram untuk dibicarakan sekalipun itu didepan wc umum yang ada di kompleks ruko srikandi.
Terlepas akan itu, maka sebaik apapun kebijakan pemerintah Kota Kotamobagu diambil jika tidak dilakukan menurut jenjang yang seharusnya, hasilnya bukan smart city namun stupid city. Inilah gelembung yang seolah olah menampakkan realitas nyata namun akan cepat memudar, pecah dalam tempo sesaat ketika diperhadapkan dengan ancaman masalah. Butuh kecermatan memilih dan memilah kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan secara luas dan bukan sekedar periuh atau taktik mencari simpati semata yang berlindung di balik mantera smart city. (**)