SOFYANTO
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan)
Pasca pendaftaran para kontestan yang akan mengikuti perhelatan akbar pemilukada serentak 9 Desember nanti, sejumlah media massa lokal baik itu media cetak maupun media berbasis digital pun ketiban rejeki orderan banner yang bisa dikatakan lumayan. Kian dekatnya pelaksanaan pemilukada ini, membuat para kontestan dan barisan tim suksesnya asyik masyuk meracik, meramu takaran skenario pemenangan bagi jagoan yang diusungnya
Dari sejumlah skenario itu, tampaknya gelagat ingin kembali menggunakan media masa sebagai sarana untuk memobilisasi dukungan rakyat masih menjadi pilihan utama para kontestan. Ruang media masih dianggap sarana yang tepat, murah dan efisien oleh kontestan pemilukada serentak guna memperkenalkan diri kalau tidak mau dibilang sebenarnya curi star kampanye.
Adalah halaman depan yang selalu dibidik para kontestan pemilukada saat melakukan order pemesanan banner untuk sekedar numpang menjual tampang di media massa. Pun tak lupa di balik order itu dibubuhi pesan sponsor dengan aneka slogan, jargon dan kata kata manis bak titah seorang maharaja ke rakyat negerinya. Ibarat sebuah teks, slogan dan kata-kata manis itu tidak diberi konteks apapun, alasan apa jargon itu di pilih, akhirnya membuka ruang publik memberi tafsir secara membabi buta yang mayoritas berbau negatif.
Terlepas urusan jual menjual tampang tersebut, pertanyaan serius yang perlu di jawab, bagaimana peran media massa dalam pemilukada serentak ? Tahun 2014 lalu, disinyalir sebagai tahun politik yang paling brutal dan kotor dalam sejarah perhelatan pesta demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Politik uang dan sajian hasil quick count abal-abal berbagai lembaga survey pesanan partai politik tertentu adalah lembaran hitam yang tak terpisahkan sejarah perpolitikan di tahun politik 2014.
Tidak menutup kemungkinan sejarah kelam tahun 2014 itu akan terulang lagi di pemilukada serentak 9 Desember nanti. Mengantisipasi akan hal itu maka media massa harus lebih berani lagi memberi kritik pedas, keras dan tajam atas sejumlah keanehan, kejanggalan dalam setiap tahapan pemilukada tersebut. Mungkin ada ketersinggungan di sana saat dijejali dan direcoki dengan semburan kritikan keras dan pedas itu, jawabnya sederhana saja, berikan sedikit ruang hak jawab kepada mereka. Tak bisa dipungkiri sejauh ini media massa diklaim masih menghuni peringkat pertama lembaga yang memiliki cakupan jaringan yang paling luas. Sehingga sebetulnya sangatlah mudah media massa mengakses sumber data dan informasi dari setiap keanehan yang terjadi di tahapan pilkada yang berlangsung.
Pertanyaan kritis selanjutnya, sejauh mana media massa mampu menempatkan dirinya sebagai pemantau yang tak tergadaikan, menjunjung tinggi etika jurnalistik serta mampu memisahkan urusan pemberitaan dengan urusan iklan dan pesan sponsor ? Tantangan berat ini bukan perkara gampang untuk dijawab, reputasi dan integritas media akan menjadi taruhan, sehingga itu setiap insan pewarta dituntut untuk menjaga sikap netralitasnya, non partisan serta bukan bagian dari tim sukses salah satu kontestan pemilukada.
Sayangnya, kendati tuntutan netralitas secara terang benderang telah galib dipraktekkan namun insan pewarta kerap dituding provokator dan tendesius saat merilis pemberitaan bertajuk hukum kriminal yang menyasar pada salah satu kontestan pemilukada. Sikap berani buka-bukaan para kuli tinta membeberkan kekeliruan, kejanggalan penanganan perkara hukum ini patut diberi acungan jempol dua jari. Tidak banyak manusia di muka bumi yang memiliki mental super hero ala superman dan batman ini, tak terkecuali kaum aktivitis yang pernah merasakan dinginnya penjara suka miskin semisal Rizal Ramly.
Dengan mengingat mental para penyelenggara pesta demokrasi 9 Desember nanti masih dihuni orang-orang yang sama saat pemilu legislatif dan pemilu presiden lalu maka media massa harus terus menerus mengingatkan kesadaran masyarakat luas agar turut bersama-sama mengawasi beragam modus kecurangan saat pemungutan suara dan saat tahap rekapitulasi suara. Jika terindikasi para penyelenggara pemilukada curang, masyarakat harus berani menggelar silang sengketa, beradu mulut, soal menyoal kejanggalan yang terjadi itu, walau itu harus ditutup dan diakhiri dengan baku hantam yang berdarah-darah
Untuk itu kritik media massa perlu mengutamakan basis pendidikan politik dengan menyajikan informasi yang mudah dipahami masyarakat awam. Yang terpenting informasi tersebut cukup memadai, jujur dan apa adanya menyangkut semua tahapan pemilukada maupun rekam jejak para kontestan pemilukada. Sekalipun ada yang berkeberatan nantinya, tidak ada urusan, jalur hukum selalu terbuka 24 jam untuk ditempuh siapapun oknum yang berkeberatan itu.
Bukan tanpa alasan jika informasi tersaji itu harus jujur dan apa adanya, kualitas partisipasi politik tahun 2015 akan sangat ditentukan dari konstruksi berpikir yang dibangun dalam materi pemberitaan yang tersaji ke ruang publik. Jangan sampai tahun 2015 ini dicap menjadi tahun darurat politik yang turut menyumbangkan kegaduhan politik nasional. Penting untuk diingat, segala atribut pemberitaan yang menyerempet terjadinya kultus marga, etnis maupun agama tertentu harus dihindari. Ini cukup berbahaya dan akan mematik tafsir liar yang menjurus pada potensi terjadinya konflik sosial.
Akhirnya, semoga para kuli tinta Indonesia tak terkecuali insan pers Bolaang Mongondow Raya dapat menunjukkan performa terbaik mereka dalam menjaga sikap profesionalismenya, mandiri dalam bekerja tanpa harus repot-repot melibatkan diri secara langsung dalam politik praktis di pemilukada serentak.