Oleh: SOFYANTO
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan)
Kab. Bolaang Mongondow – Sulut
Bertransaksi menggunakan Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tak disyak telah menjadi pilihan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hampir semua jenis transaksi nasabah dapat dilayani dalam kartu kecil seukuran kartu tanda penduduk ini. Mulai dari urusan makan-makan, berbelanja, jalan-jalan. membayar tagihan dan sebagainya. Apalagi jika ditopang dengan saldonya yang terbilang gendut, di jamin urusan apa saja bakal terselesaikan seketika. Tapi bagaimana jika kita sendiri menjadi ATM saat dililit masalah hukum, tentu siapapun tak menginginkan itu terjadi.
Fenomena tersangka menjadi ATM di lembaga penegak hukum bukan hal baru, walau jarang terpublikasi di khalayak ramai tapi tak bisa terpungkiri itu terjadi. Sinyalemen adanya ketidakberesan ini dalam penegakan hukum ini akhirnya sampai juga ke telinga Presiden Joko Widodo. Saat pidato pada upacara peringatan ulang tahun ke-55 Korps Adhyaksa, Presiden menyebutkan banyak tersangka yang diperas dan dijadikan sebagai mesin ATM. Tentu pernyataan presiden ini bukan tanpa alasan, tim komunikasi Presiden Teten Masduki menyebut bahwa Jokowi banyak menerima aduan soal penyelewengan dalam kasus penegakan hukum.
Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja sebagaimana dilansir media kompas di situs resminya, pada tahun 2012 dan 2013, peringkat pertama lembaga terkorup dihuni bersama DPR dan Polri. Di peringkat ketiga adalah pengadilan dan selanjutnya parpol, pegawai negeri sipil (PNS), sektor bisnis, sektor kesehatan, dan kemudian sistem pendidikan.
Terlepas dari fakta tersebut, berkembang pemikiran di publik bahwa hukum sebenarnya dapat dibeli, Kasih Uang Habis Perkara (KUHP). Berbagai tayangan persoalan hukum yang menjadi santapan tiap hari masyarakat luas, selalu di embel-embeli stempel penerima suap atau pemberi suap. Paling anyar dan menjadi trending topik akhir-akhir ini adalah kasus suap pengacara senior O.C Kaligis dengan hakim PTUN Medan.
Terungkapnya pusaran suap menyuap khususnya di lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan ini maka topik ini tetap asyik dikomentari, mulai dari forum resmi setingkat seminar sampai di warung kopi pinggiran jalan sekalipun. Menariknya, lembaga penegak hukum KPK tidak pernah sekalipun tersandung dengan persoalan suap sebagaimana yang terjadi di tiga lembaga penegak hukum lainnya.
Suap tidak hanya dilakukan oleh seorang tersangka, namun terjadi juga pada oknum penegak hukum yang menangani perkara itu. Khususnya suap oknum penegak hukum rata-rata bermotif mendapatkan keuntungan semata. Sebenarnya suap jenis ini lebih tepat disebut “pemerasan” karena diselingi ancaman memberatkan hukuman pada tersangka, iming-iming pembebasan/SP3. Analogi ATM didirikan untuk tujuan mempermudah transaksi nasabahnya entah menarik uang tunai, membayar tagihan dan sebagainya tanpa harus antri. Tak jauh berbeda ketika seorang tersangka dijadikan ATM, berbagai kemudahan dan discount akan ditawarkan oknum penegak hukum,
Seorang tersangka yang dijadikan ATM di lembaga kepolisian, cenderung penyelesaian perkaranya diperlambat oleh penyidik, kendati Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendaliaan Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI telah menetapkan pada pasal 31 ayat 2 bahwa limit waktu penyelesaian perkara 30 hari penyidikan untuk perkara mudah, 60 hari penyidikan untuk perkara sedang, 90 hari untuk penyidikan perkara sulit dan terakhir 120 hari penyidikan untuk perkara sangat sulit.
Tak jauh berbeda terjadi juga di lembaga kejaksaan, lamanya penyelesaian perkara diatur dalam Surat Keputusan Ketua MA Nomor 119/SK/KMA/VII/2013 dan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014 yakni MA harus memutus paling lama 3 bulan setelah perkara tersebut diterima oleh Ketua majelis kasasi/PK. Sedangkan, untuk penyelesaian perkara tingkat banding dan tingkat pertama harus dilakukan paling lambat masing-masing 3 bulan dan 5 bulan.
Adapun di lembaga peradilan, ketentuan penanganan perkara telah diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan tertanggal 9 Februari 2012. Namun secara teknis dalam diktum ketiga dijelaskan tenggang waktu penanganan perkara diserahkan kepada kepala masing-masing badan peradilan yang ada.
Walaupun telah dikeluarkan peraturan di masing-masing lembaga penegak hukum yang membatasi periode waktu penanganan sebuah perkara, namun dalam prakteknya terkadang kita jumpai sebuah perkara yang baru dilaporkan beberapa hari lalu, tidak menunggu hitungan bulan, sudah ada pelimpahan berkas perkara seorang tersangka. Namun di kesempatan berbeda terkadang juga penanganan sebuah perkara memakan waktu sampai bertahun-tahun lamanya.
Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri dari 286 pasal yang ada sebenarnya tidak satupun mengatur secara spesifik dan tegas mengenai masa waktu dilakukan penyidikan terhadap seseorang tersangka. Akibatnya tiga tahapan penting penyelesaian perkara pidana sebagaimana diatur dalam Kita Hukum Acara Pidana menjadi ladang subur untuk menggeruk keuntungan pribadi.
Tidak cukupkah renumerasi yang diberikan pemerintah selama ini sehingga oknum penegak hukum perlu mencari tambahan penghasilan lain melalui jabatannya ? Pertanyaan sederhana yang menyeruak di berbagai diskusi pendek atau celoteh saat istirahat makan siang melepas kepenatan bekerja, tidak akan pernah di akhiri dengan jawaban yang memuaskan. Kesimpulan itu dibuat secara membabi-buta, menyasar siapa saja yang patut diduga menjadi biang kerok sehingga perlu diminta pertanggungjawabannya.
Tampaknya revisi atas Undang-Undang 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mesti dlakukan. Tapi sayangnya, dalam prolegnas hanya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut advokat senior Luhut MP Pangaribuan saat menjadi narasumber pada diskusi panel yang digelar Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) di Gallery BEI, di Jakarta (25/6). Di tempat yang sama, politisi dari PPP Arsul Sani sepakat bahwa RKUHAP jauh lebih penting untuk dibahas lebih dahulu daripada RKUHP.
Nasi sudah menjadi bubur, maka sebaiknya lembaga kepolisian dan mahkamah agung sesegera mungkin memperbaharui tiga peraturan yang telah dikeluarkannya dengan memasukkan klausul saksi kepada oknum aparat yang terbukti melambatkan penyelesaian perkara agar meminimalisir tersangka diperas dan dijadikan ATM sebagaimana pernyataan presiden. Semoga itu terjadi.
trims