TOTABUAN.CO — Lima hari menjelang tahapan pertama penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015 masih banyak ditemukan daerah yang bermasalah penganggaran pilkadanya. Selain Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) tidak sigap dalam menyiapkan dana pilkada, regulasi pendanaan juga belum disediakan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan dari 201 dan 68 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, masing-masing memiliki permasalahan penganggaran yang beragam.
“Persiapan anggaran pilkada minimal membutuhkan waktu enam bulan. Dari persoalan tersebut 68 daerah yang AMJ (Akhir Masa Jabatan) habis semester awal 2016 secara logika belum menganggarkan pilkada yang digelar 2015. Tapi temuan kami pun, ada daerah yang AMJ-nya 2015 belum juga ada anggarannya. Kalau pun sudah, belum sesuai dengan yang dibutuhkan KPU daerah,” katanya kepada wartawan pada sebuah diskusi “Kesiapan Dana Pilkada Serentak 2015” di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (14/04).
Berdasarkan data yang dihumpun perludem dari 30 KPU daerah masih terdapat daerah yang belum memiliki anggaran karena belum disetujui pemerintah daerahnya. Misalnya Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, dari Rp 39 miliar yang diajukan KPU Nias Selatan, hingga hari ini anggaran tersebut belum disetujui pemerintah kabupatennya.
Keadaan yang sama juga dialami oleh KPU Madina, Sumut, KPU Tanjung Jabung Barat, Jambi. Sementara KPU Gunung Sitoli, Sumut baru disetujui 23 persen. Hal serupa dialami oleh KPU Pemalang, Jateng, yang baru disetujui 17 persen serta KPU Demak, Jateng baru disetujui 24 persen. “Dengan adanya persoalan tersebut, menjadi tidak realistis menyelenggarakan tahapan pada 19 April ini,” imbuh Titi.
Beberapa daerah tersebut adalah daerah yang AMJ-nya berakhir pada semester awal 2016. Permasalahan berbeda terjadi pada daerah yang AMJ-nya memang berakhir pada 2015. Meskipun rata-rata telah disetujui pemerintah daerahnya namun tidak sampai 100 persen anggaran tersebut disetujui.
Misalnya KPU Banggai Laut, Sulteng, hanya disetujui 77 persen dari total Rp 11 miliar yang dibutuhkan. KPU Rembang, Jateng lebih parah lagi, baru disetujui separuh dari total Rp 15 miliar yang diajukan. Titi mengungkapkan itu belum termasuk pendanaan tiga item kampanye (alat peraga, penyeberan alat peraga, iklan kampanye) yang diamanatkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015. “Kami sudah bertanya, mayoritas KPUD belum menganggarkan tiga item tersebut,” tambah Titi.
Titi melanjutkan, lebih dari itu, 201 daerah plus 68 daerah yang akan menyelenggarakan tersebut belum memiliki nota kesepahaman pendanaan pilkada dengan pemerintah daerahnya. Hal tersebut membuat KPU daerah belum bisa melakukan apa-apa meskipun uang yang disetujui tersebut sudah tersedia. Pemda tidak mau membuat nota kesepahaman sebelum ada PKPU, dan Permendagri yang memayungi alokasi pengangaran pilkada 2015 ini.
“Ada desain keserentakan nasional yang ingin diwujudkan KPU, namun dengan belum adanya kepastian anggaran, kita meragukan keserentakan tersebut dapat terjadi,” ujarnya.
Titi menekankan dengan adanya keadaan tersebut, Pemerintah, dalam hal ini Mendagri dan Menkeu, perlu bertanggungjawab. Sebab desain keserentakan pilkada terancam tidak dapat terlaksana. Di satu sisi, ada anggaran APBD yang membengkak sebab ada tiga item kampanye yang kali ini harus didanai APBD, di sisi lain tidak ada anggaran yang cukup.
“Kalau pemerintah dan DPR tidak bisa memastikan keserentakan pilkada 2015 ini, lebih baik pilkada diundur saja. Kalau hanya daerah yang belum ada anggaran, yang diundur, itu akan mengkhianati keserentakan yang telah didesain. Tidak boleh parsial kalau ingin menunda, diundur saja semuanya menjadi Juni 2016,” pungkasnya.
sumber : beritasatu.com