TOTABUAN.CO — Pertemuan tahunan para elite bisnis dan politik dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, dibuka pada Rabu (21/1) dan akan berlangsung hingga Sabtu (24/1). Dalam pidato pembukaan, CEO WEF Klaus Schwab berharap forum tahun ini bisa membangun kepercayaan dan keyakinan di tengah berbagai ketidakpastian yang dihadapi dunia, secara politik maupun ekonomi.
Ia juga meminta para delegasi untuk bekerja sama dan membantu terciptanya solusi-solusi atas berbagai persoalan besar. Berbagai persoalan itu antara lain anjloknya harga minyak mentah, kemungkinan bereskalasinya lagi krisis utang zona euro, pengentasan kemiskinan, perubahan iklim, dan masalah-masalah geopolitik.
“Kita semua di sini untuk menunjukkan semangat dan juga kasih. Berbagi dan kepedulian harus menjadi moto pertemuan ini,” kata Schwab.
WEF tahun ini diikuti sekitar 2.500 tokoh penting dunia, di antaranya Presiden Prancis Francois Hollande, Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) John Kerry, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Perdana Menteri (PM) Belgia Charles Michel.
Hadir pula PM Irak Haidar Al Abadi, PM Tiongkok Li Keqiang, Raja Abdullah II dari Yordania, Pangeran Albert dari Monako, dan Pangeran Andrew dari Inggris. Itu belum termasuk para pemimpin perusahaan ternama global, termasuk CEO UBS Axel Weber, CEO dan Chairman Bank of America Brian Moynihan, dan Co-CEO Deutsche Bank Anshu Jain.
WEF 2015 berlangsung di tengah awan badai yang menggelayuti perekonomian dunia. Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global 2015 dan 2016.
Hasil survei yang dirilis PwC pada Selasa (20/1) menunjukkan, para pemimpin bisnis global optimistis terhadap potensi pertumbuhan ekonomi 2015. Rencana Bank Sentral Eropa (ECB) mengumumkan program pembelian obligasi pemerintah skala besar, quantitative easing (QE) yang ditaksir mencapai 550 miliar euro pada Kamis (22/1), juga menjadi fokus perhatian kalangan elit finansial yang hadir di Davos.
Weber yang mantan presiden Bundesbank atau bank sentral Jerman mengingatkan, ECB jangan terlampau banyak bertindak. Pemerintah negara-negara zona euro-lah, ujar dia, yang harus memikul beban berat memperbaiki kondisi perekonomian zona euro.
“ECB hanya bisa menjadi bagian dari pembenahan di Eropa. Menurut saya, mereka jangan bertindak terlalu jauh karena makin banyak mereka bertindak, ada dorongan bagi pemerintah untuk tidak banyak berbuat. Masalahnya, jika terus-menerus mengulur waktu dan waktu itu tidak digunakan untuk menjalankan reformasi, patut dipertanyakan apakah resepnya masih yang sama,” tutur Weber.
Dia menjelaskan, Eropa sudah menyia-nyiakan kesempatan selama tiga tahun untuk melaksanakan reformasi perekonomian.
ECB sudah menyelamatkan zona euro dalam beberapa kesempatan, sejak Yunani nyaris menyeret blok 19 negara ini dengan utangnya, ke jurang krisis.
ECB meluncurkan langkah-langkah nonkonvensional sejak akhir 2011 untuk menenangkan kegelisahan di pasar finansial. Namun, dengan pertumbuhan ekonomi zona euro yang masih lesu dan tingkat pengangguran masih tinggi, blok tersebut berada dalam bahaya menuju deflasi.
Kondisi tersebut yang memaksa ECB harus mempertimbangkan opsi lain, termasuk QE. Menurut Weber, masalah yang sebenarnya terjadi adalah ECB terus memberi waktu bagi para pembuat keijakan Eropa untuk memperbaiki masalah. Tapi, mereka tidak melakukannya dalam beberapa tahun terakhir.
“Sekarang yang kembali bukanlah Eropa, melainkan masalahnya. Sekarang Anda harus melaksanakan reformasi di bawah pengawasan pasar keuangan internasional. Eropa sudah kehilangan peluang baik untuk melakukan banyak hal penting yang bisa mereka lakukan dalam kondisi yang lebih baik,” ujar Weber.
Adam Posen, mantan bankir bank sentral dan selama tiga tahun duduk di komite kebijakan Bank of England (BoE) mengatakan, ancaman deflasi sudah terlalu besar untuk diabaikan lebih lama lagi.
“Bahayanya adalah mereka yang menentang QE, yang menurut saya salah dengan berupaya memastikan QE gagal,” tutur dia.
Akan tetapi, kekhawatiran terjadinya deflasi di zona euro juga dianggap sangat berlebihan. Hal itu digunakan sebagai dalih untuk mendorong munculnya langkah-langkah kontroversial. Hal itu disampaikan oleh mantan kepala ekonom ECB Juergen Stark, Rabu.
“ECB ingin menurunkan biaya refinancing dari masing-masing negara. Hal itu sangat berbeda dari kebijakan moneter tradisional,” ungkap Stark, kepada harian bisnis Handelsblatt.
Bila para pemimpin Eropa mendapat kecaman, sebaliknya AS mendapat pujian. Hasil survei Bloomberg Global Poll menunjukkan, dua pertiga investor menganggap zona euro kehilangan momentum dan tiga dari lima responden menyatakan perekonomian AS meningkat.
“Saat ini AS tampaknya menjadi tempat paling mantap di dunia untuk berinvestasi,” ujar David Rubenstein, pendiri Carlyle Group LP.
Menurut Weber, masih banyak yang harus dilakukan oleh zona euro untuk mengintegrasikan pasar dan sistem finansialnya.
“Jika itu tidak terjadi, proyek mata uang tunggal bakal makin sulit untuk diteruskan. Eropa kurang banyak berbuat untuk menyingkirkan kekhawatiran-kekhawatiran itu,” kata dia.
Rubenstein menyebut sektor perbankan zona euro sebagai titik lemah. Keengganan sektor tersebut untuk menyalurkan kredit makin mengkhawatirkan, karena ada risiko perusahaan-perusahaan Rusia gagal bayar utang dan terjadi turbulensi pasar valas di tengah kemerosotan euro.
Zhang Xin, miliarder pendiri Soho China Ltd, mengatakan, perusahaan real estatnya baru-baru ini menarik diri dari proyek investasi di Eropa karena lesunya pertumbuhan. “Memang suku bunga pinjaman sangat murah, tapi sisi permintaannya tidak meyakinkan,” ujar dia.
Sementara itu, sekitar enam miliarder yang hadir di Davos, termasuk miliarder telekomunikasi Irlandia Denis O’Brien dan miliarder sepatu Italia Mario Polegato memperkirakan The Federal Reserve (The Fed) tidak menaikkan suku bunga acuan hingga akhir tahun ini.
“Semuanya terlalu lemah untuk saat ini. The Fed tidak akan menaikkan suku bunga sampai akhir 2015 atau awal 2016,” kata dia.
Jain mengatakan, kekhawatiran terbesarnya tahun ini adalah gejolak-gejolak susulan setelah The Fed mulai mengetatkan kebijakannya, khususnya di pasar obligasi korporasi.
“Gejolak di pasar kredit menyusul keputusan The Fed adalah kekhawatiran utama saya. Dalam enam hingga maksimal 12 bulan kemudian, The Fed akan mengubah kebijakan dan itu akan sangat signifikan,” kata dia.
Jain menekankan, prediksi itu tidak berarti akan terjadi krisis dan dia mendukung untuk kembali ke kebijakan-kebijakan moneter yang normal. Moynihan dan Chairman HSBC Holdings Plc mengingatkan bahayanya terlalu bergantung pada kebijakan non-konvensional seperti QE.
“Orang jangan terkejut bahwa bank sentral akan menormalkan kebijakan pada laju yang akan mengejutkan mereka. Kekhawatirannya adalah jika bank sentral tidak mulai menormalkan kebijakan, berarti tidak akan pernah terjadi. Jika The Fed menaikkan suku bunga karena perekonomian AS tumbuh kuat, itu kabar baik,” tutur Moynihan.
sumber : beritasatu.com