TOTABUAN.CO — Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk konsentrasi penuh pada tugasnya masing-masing. BI mengurus kebijakan macroprudential yaitu kebijakan moneter untuk menjaga inflasi, suku bunga dan stabilitas rupiah, mengelola cadangan devisa, serta sistem pembayaran nasional. Sedangkan tugas OJK mengurus kebijakanmicroprudentialyaitu pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di industri keuangan baik industri perbankan maupun pasar modal dan industri keuangan non-bank seperti diantaranya asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, serta lembaga keuangan mikro.
Hal itu dikatakan anggota Komisi XI DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Maruarar Sirait, di Jakarta pekan lalu. “Kalau ada tumpang tindih kewenangan, kita harus duduk bersama membicarakan batasan macroprudential dimana danmicroprudential ada dimana,” kata Maruar Sirait yang biasa dipanggil Ara.
Dalam UU OJK sebenarnya telah diatur secara tegas bentuk hubungan (koordinasi) kelembagaan antara OJK, BI, Pemerintah/Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di bidang perumusan kebijkan pengaturan dan pemeriksaan bank, pertukaran data dan informasi bank, dan pencegahan serta penangan krisis. Pemisahan micro-macroprudential untuk mencegah benturan kepentingan, dan mekanisme check and balances, khususnya dalam pengelolaan industri perbankan.
Pernyataan Ara menanggapi pernyataan BI saat sidang judicial review UU OJK di Mahkamah Konstitusi (MK) Minggu lalu, bahwa telah terjadi tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK serta tidak efektifnya keberadaan FKSSK (forum koordinasi stabilitas sistem keuangan), yang beranggotakan Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS. Forum ini untuk membahas stabilitas sistem keuangan dan mengatasi krisis. Dalam sidang tersebut, Kementerian Keuangan menyatakan FKSSK sudah efektif berjalan.
Lebih jauh Ara mengatakan, DPR memanggil BI dan OJK dalam rapat Komisi XI mendatang.”Karena yang saya ketahui selama ini enggak ada permasalahan apa-apa antara OJK dan BI,” kata Ara.
Sementara itu mantan Ketua Pansus RUU OJK, Nusron Wahid yang saat ini menjadi Kepala BNP2TKI mengingatkan semua pihak bahwa terbentuknya OJK adalah keputusan politik yang didasari fakta sejarah. Mulai dari moral hazard yang terjadi di industri keuangan saat krisis ekonomi 1997/1998 yang ditandai dengan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), obligasi rekap, sampai munculnya kasus Bank Century pada tahun 2008.
Fakta menunjukkan bahwa pengawasan sektor jasa keuangan yang terpisah, yaitu perbankan oleh BI dan industri keuangan non-bank dan pasar modal di Departemen Keuangan, telah menimbulkan celah atau loopholes yang dimanfaatkan oleh mafia kejahatan di industri keuangan.
“OJK dan pengawasan terintegrasi jadi kata-kata kunci untuk menambal loopholes tersebut. Seluruh industri, pengaturan dan pengawasannya harus dibawah satu lembaga yaitu OJK,” tambah Nusron.
Apalagi, lanjut Nusron, perkembangan konglomerasi keuangan di Indonesia saat ini berkembanga sangat pesat. ”Bagaimana bila mereka colaps, dapat memicu krisis sistemik. Nah dengan pengaturan dan pengawasan secara integrasi, niscaya risiko konglomerasi akan termonitor dan dimitigasi,” kata Nusron.
Di Indonesia saat ini terdapat 36 konglomerasi, masing-masing dapat membawahi puluhan perusahaan terutama di sektor nonperbankan baik di pasar modal maupun di industri keuangan non-bank. “Konglomerasi ini telah memunculkan potensi risiko terbesar di sektor jasa keuangan, terlebih lagi dengan adanya hybrid products lintas sektor misalnya bankassurance dan unit link,” ujar Nusron.
Menyangkut pungutan ke dunia perbankan oleh OJK, baik Ara maupun Nusron mengingatkan agar kepentingan industri lebih diutamakan.Nusron dan Ara menyambut baik inisiatif OJK yang mengusulkan kepada Pemerintah agar segera melakukan amanden terhadap peraturan pemerintah tentang pungutan.
Hanya keduanya mengingatkan, agar pembiayaan OJK ke depan lebih mengandalkan pungutan.Kondisi fiskal kita masih rawan karena dibiayai utang. Jangan hanya gara-gara OJK mengandalkan APBN, justru memperparah APBN. “Kepercayan pasar ditentukan selain oleh kualitas koordinasi OJK dan BI, juga oleh APBN yang sehat dan bersinambungan,” ujar Nusron.
sumber : kompas.com