TOTABUAN.CO — Salah satu anggota tim kuasa hukum Pemimpin Redaksi (Pemred) The Jakarta Post, Ahmad Irfan Arifin menilai kasus yang membelit klien-nya harus didasarkan pada Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Hal itu karena terdapat kesepakatan tertulis antara Polri dan Dewan Pers dalam menangani kasus sengketa pers dengan didasarkan pada Undang Undang tersebut.
“Antara Dewan Pers dan Polri telah menandatangani nota kesepahaman tentang koordinasi dalam penegakan hukum dan perlindungan kebebasan pers. Keduanya sepakat apabila ada dugaan tindak pidana di bidang pers maka proses penyelidikannya berpedoman UU Pers,” kata Ahmad di gedung Equility Tower SCBD Jakarta, Senin (15/12).
Menurutnya sebelum ditetapkan tersangka oleh polisi, Dewan Pers telah memberikan putusan atas kasus karikatur The Jakarta Post. Hal itu terbukti sebagai tindak pelanggaran kode etik jurnalistik saja.
“Pada 15 Juli 2014 Dewan Pers telah menyatakan kasus karikatur ISIS hanya merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik. Namun, jika kasus karikatur itu dianggap sebagai tindak pidana akan melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers,” terang dia.
Lanjut dia, substansi karikatur ISIS di The Jakarta Post bukanlah penistaan agama. Hal itu karena tak ada unsur kesengajaan dari pihak pembuat.
“Unsur kesengajaan, maupun permusuhan atau penodaan terhadap agama tidak terpenuhi. Dalam hal ini tidak ada niat jahat atau malicious intent oleh The Jakarta Post ketika memuat karikatur,” pungkas dia.
Sebelumnya diketahui, Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan tersangka terhadap Pemimpin Redaksi (Pemred) ‘The Jakarta Post’ Meidyatama Suryodiningrat (MS) terkait dugaan tindak pidana penistaan agama.
sumber : merdeka.com