TOTABUAN.CO — Presiden Joko Widodo meminta semua kementerian dan lembaga memangkas anggaran kegiatan nonprioritas. Salah satunya anggaran perjalanan dinas dan rapat yang mencapai Rp 41 triliun pada 2015.
Selain itu, Jokowi juga telah memerintahkan semua kementerian melakukan penghematan penggunaan alat tulis kantor, seperti kertas dan tinta. Dia juga meminta setiap kementerian melakukan penghematan penggunaan listrik dan air.
Oleh karena itu, pada 4 November 2014, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi menerbitkan Surat Edaran nomor 10 tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara. Di dalamnya berisi instruksi pelaksanaan gerakan penghematan nasional dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja aparatur negara.
Menteri PAN-RB menginstruksikan seluruh aparatur negara untuk melakukan penghematan. Mulai dari penggunaan listrik, perjalanan dinas, penggunaan produksi lokal, hingga kesederhanaan hidup.
“Aparatur negara wajib melaksanakan secara konsisten ketentuan mengenai peningkatan efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dan sarana prasarana kerja di lingkungan instansi pemerintah,” bunyi surat edaran seperti dikutip dari situs resmi sekretariat kabinet.
Terhitung mulai 30 November 2014, kementerian, badan, dan lembaga tinggi negara hingga pemerintah daerah diwajibkan melaksanakan penghematan penggunaan sarana dan prasarana kerja di instansinya masing-masing.
Tahun depan, pemerintah bakal memangkas anggaran perjalanan dinas sebesar Rp 16 triliun. Dengan demikian, anggaran perjalanan dinas ditetapkan sebesar Rp 41 triliun dalam APBN 2015 bakal turun menjadi Rp 25 triliun. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil.
Langkah Pemerintahan Jokowi ini ternyata tak begitu saja lepas dari kritik. Sejumlah kalangan justru menilai keputusan Jokowi tak efektif. Apa saja kritik tersebut?
Direktur Eksekutif Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengkhawatirkan jika pemerintah Jokowi – JK tak serius menangani rencana ini. “Sebenarnya memang masyarakat tidak pernah protes dengan penggunaan fasilitas menteri, yang penting masyarakat melihat hasil kerja dari menteri itu,” jelas dia.
Sebagai pembuktian, Jokowi bisa mulai melaksanakan kebijakan nyata untuk masyarakat dalam mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Buatlah kebijakan berdampak kesejahteraan masyarakat bukan hiruk pikuk atau langkahnya, yang penting menghasilkan perbaikan atau tidak,” ungkapnya.
2.Berpotensi hanya bentuk pencitraan
Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla (JK) telah melarang para pejabat negara menggunakan fasilitas negara secara berlebih untuk penghematan anggaran kementerian. Namun, dibalik langkah penghematan ini, pemerintah berpotensi hanya menjalankan politik pencitraan.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah harus memberikan bukti nyata praktik penghematan ini pada rakyat.
“Terpenting ini soal keseriusan agar hasilnya bisa dilihat masyarakat,” ujarnya.
Ekonom Aviliani menilai Jokowi berlebihan dalam mengeluarkan kebijakan. Menurut Aviliani sebaiknya Jokowi tidak melakukan cara-cara tersebut untuk seorang pejabat negara. Pasalnya, fasilitas negara yang diberikan untuk seorang menteri dinilai wajar.
“Tidak signifikan dan terlalu berlebihan, pejabat negara itu kan sebuah pengorbanan jadi jangan diambil haknya untuk menggunakan fasilitas negara,” ujarnya kepada merdeka.com.
Seperti diketahui, Pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla terus berupaya menghemat anggaran negara dengan cara-cara sederhana. Semisal melarang pejabat negara menggunakan penerbangan kelas bisnis, menyediakan makanan yang berbau tradisional hingga membatasi para tamu dalam menghadiri pesta kawinan pejabat negara.
Ekonom Aviliani menyebut, menteri tidak bisa disamakan dengan masyarakat terutama dari segi fasilitas. Hal itu harus dapat dibedakan oleh pemerintah sekarang meski Jokowi meminta para pejabat negara hidup sederhana.
“Fasilitas menteri jangan disamakan dengan fasilitas rakyat. Masa menterinya susah lalu rakyatnya juga susah,” tuturnya.
Menurut dia, Jokowi harus melihat dari sisi kemanusiaan meski dengan cara tersebut dapat mendisiplinkan para pejabat negara. Tapi paling penting yang harus dipikirkan pemerintah bahwa jabatan seorang menteri bukan perkara yang gampang.
“Kasihan harus lihat dari sisi kemanusiaan juga, menjadi menteri bukan kebanggaan, seorang menteri pekerjaan yang berat memikirkan negara jadi sangat wajar jika diberikan fasilitas melebihi rakyat, kan dia (menteri) bekerja untuk rakyat,” jelas dia.
sumber : merdeka.com