KOTAMOBAGU (totabuan.co) – Harga kopra dua tahun terakhir ini di wilayah Sulawesi Utara (Sulut) terus bertahan pada harga level terbawah. Akibatnya, banyak pengepul di wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR) gulung tikar. Petani gigit jari tak pernah mendapat keuntungan besar lagi.
“Saya tahun 2011 lalu sebagai pengepul. Harga saat ambilan saat itu sampai Rp 10 ribu per kilogramnya. Kemudian mulai turun hingga ke harga Rp3000 per kilonya. Modal hanya pas-pasan, terpaksa gulung tikar,” kata Alhma salah satu pengepul di Kecamatan Kotamobagu Selatan, 29 Mei 2013.
Menurut pengepul lainnya, bisnis pengepul kopra tidak lagi menjanjikan saat ini. Selain keuntungan sedikit, juga dikarenakan harga kopra tidak ada tanda-tanda kenaikan.
“Saat ini bisnis kopra berbahaya bila modal pendek. Contohnya, kita ambil kopra dari petani rata-rata akan susut 30 persen, lalu kita jual ke pabrik. Dari situ saja kita sudah merugi, belum biaya transportasinya,” jelas Saimin.
Lebih merasakan anjloknya harga kopra adalah petani. Biasa dalam perhektarnya mampu menghasilkan puluhan juta, namun dua tahun terakhir kopra bukan lagi komoditi andalan petani. Justru, banyak diantaranya ditebang untuk tanaman tahunan lainnya.
“Mo pete’ cuma lebe banyak depe biaya. Biaya orang bapanjat, biaya nae roda. Belum biaya ba olah. Jadi terkadang nda tapulang bale modal,” kata Saimin warga Lolayan, Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow baru-baru ini.
Baik petani maupun pengepul berharap harga kopra kembali seperti dua tahun lalu: menyentuh harga Rp 10 ribu di pengecer. Apalagi tanaman kepala di Sulut merupakan andalan sejak dulu, sampai-sampai daerah ini disebut sebagai ‘nyiur melambai’.
[tr1-has]