TOTABUAN.CO — Direktur Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) terus menjadi masalah krusial dalam perekonomian Indonesia.
Untuk itu, pemerintah harus cermat mengurai persoalan subsidi, sehingga bisa menemukan formula yang tepat sebagai solusi.
“Berdasarkan kajian INDEF, ada empat permasalahan utama yang menyelimuti subsidi BBM di Indonesia,” kata dia dalam diskusi “Rencana Kenaikan Harga BBM” di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Jakarta, Senin (17/11).
Pertama, besarnya subsidi BBM telah menyandera anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan ruang fiskal. Selama lima tahun terakhir, nilai subsidi BBM meningkat dari Rp 139 triliun pada 2010 menjadi Rp 211 triliun dalam APBN-P 2014. “Jika ditambah subsidi listrik, maka total subsidi energi mencapai Rp 365 triliun,” kata dia.
Permasalahan kedua, kata Enny, subsidi BBM tidak tepat sasaran. Menurutnya, penggunaan BBM bersubsidi didominasi transportasi.”Sebesar 92 persen dinikmati pemilik kendaraan pribadi, sedangkan kendaraan umum hanya menikmati 8 persen,” kata dia.
Permasalahan ketiga, jelas Enny, subsidi BBM menyebabkan ketergantungan energi impor. Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. “Impor BBM Indonesia setiap tahun terus mengalami peningkatan. Jika tidak ada konsistensi kebijakan bauran energi maka Indonesia akan menjadi importir minyak terbesar di dunia,” kata dia.
Permasalahan keempat adalah subsidi BBM menjadi sumber defisit transaksi berjalan Indonesia. Menurut Enny, tingginya defisit secara tidak langsung mempengaruhi fundamental perekonomian.
Dia juga menjelaskan, kenaikan BBM akan menghadapi dilematis karena selalu menimbulkan kontroversi. Jika BBM dinaikkan tahun ini, maka pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan, sedangkan inflasi akan meningkat. “Subsidi BBM terus menjadi masalah tetapi setiap kali ada wacana kenaikan pasti ada dampak dan menimbulkan pro dan kontra,” ujar dia.
sumber : beritasatu.com