TOTABUAN.CO — Pemerintah akhirnya menaikkan alokasi dana bantuan operasional sekolah menengah (BOS-SM) 2015 menjadi Rp 1,2 juta/siswa/tahun.
Kemendikbud menyebutkan besaran dana BOS-SM itu masih dibawah kebutuhan riil sekolah. Sehingga meskipun ada kenaikan, sekolah tetap diperbolehkan menarik SPP.
Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud Ahmad Jazidie menuturkan, tahun ini alokasi atau unit cost dana BOS-SM adalah Rp 1 juta/siswa/tahun.
“Meskipun tahun depan naik jadi Rp 1,2 juta, tetapi masih di bawah kebutuhan riil dana operasional seluruhnya di sekolah,” kata Jazidie usai membuka Lomba Karya Ilmiah dan Inovasi Pembelajaran Guru SMK di Jakarta kemarin.
Guru besar ITS Surabaya itu menuturkan pagu anggaran Ditjen Pendidikan Menengah Kemendikbud tahun depan adalah Rp 17 triliun. Dari total dana itu, Rp 10 triliun hingga Rp 11 triliun dipakai untuk membayar dana BOS-SM.
Kemudian sekitar Rp 3 triliun untuk membayar tunjangan profesi guru (TPG) pendidikan menengah. Lalu anggaran sekitar Rp 1 triliun untuk bantuan siswa miskin di SMA dan SMK.
Jazidie menuturkan besaran dana BOS-SM itu masih sekitar separuh dari total kebutuhan operasional pendidikan di SMA dan SMK. Dengan kata lain, kebutuhan penyelenggaraan pendidikan masih belum bisa ditutup total dengan kucuran dana BOS-SM.
Untuk itu Jazidie mengatakan SMA dan SMK negeri atau swasta masih diperbolehkan untuk menarik SPP. “Tapi kalau mau narik SPP, mohon lihat-lihat,” katanya.
Jazidie berharap besaran SPP di sekolah tidak dibuat seragam. Siswa dari keluarga tidak mampu diberi besaran SPP yang lebih murah bahkan digratiskan. Sedangkan siswa dari keluarga yang kaya dibebani SPP lebih besar. Dengan skema ini, akan terjadi subsidi silang antara siswa dari keluarga kaya kepada siswa dari keluarga miskin.
Dia mengatakan dengan trend peningkatan dana pendidikan setiap tahunnya, alokasi dana BOS-SM ikut naik. Sehingga dapat menutup 100 persen kebutuhan operasional sekolah.
“Ketika sudah menutup 100 persen, SPP di SMA dan SMK dapat digratiskan seperti di tingkat SD atau SMP,” jelas Jazidie.
Selain alokasi dana BOS-SM belum meng-cover seluruh kebutuhan operasional sekolah, masalah lain di pendidikan menengah adalah kekurangan guru produktif di SMK. Beban pengajaran yang seharusnya dipegang oleh guru produktif di SMK sebenarnya 40 persen. Kemudian 60 persen lainnya adalah beban guru-guru normative/adaptif.
Jumlah guru SMK saat ini mencapai 219.409 orang. Dari jumlah itu, guru produktif hanya 48.270 orang atau sekitar 22 persen.
“Kita masih butuh guru-guru produktif, seperti guru ahli las, listrik, dan sejenisnya,” ujar Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P2TK) Pendidikan Menengah Kemendikbud Purwadi Sutanto.
Pengisian guru produktif ini tidak hanya dicetak alumni lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) saja. Tetapi juga dari kampus-kampus non keguruan. Tetapi nanti calon guru alumni kampus non keguruan harus mengikuti pendidikan profesi guru terlebih dahulu.
sumber : jpnn.com