TOTABUAN.CO — Kurangnya pengetahuan tentang sejarah seni adalah salah satu sebab mengapa karya seni palsu, yang mengatasnamakan nama maestro Indonesia, banyak beredar di negara tersebut dan bahkan sampai ke negara lain. Ternyata, Australia pun menghadapi masalah yang kurang lebih sama.
Pendapat ini disampaikan dalam simposium Asian Art Worlds: Collectors, Curators & Critics, yang digelar di University of Melbourne, Australia, bulan lalu.
Beberapa pakar seni Asia Tenggara yang menyampaikan presentasi dalam acara tersebut, seperti Aminudin TH Siregar, dari Institut Teknologi Bandung, dan Seng Yu Jin dari The National Gallery, Singapura, menyatakan bahwa kawasan Asia Tenggara memang miskin akan pembelajaran formal bidang sejarah seni (Art History).
“Kita tak punya jurusan sejarah seni di universitas-universitas manapun di Asia Tenggara. Sejarah seni memang diajarkan sebagai modul dalam beberapa jurusan seni murni, tapi tidak ada jurusan sejarah seni,” jelas Seng Yu Jin.
Akibatnya, kerap terjadi pemalsuan nama yang berhasil menipu kolektor-kolektor dari Indonesia dan negara lain, ungkap Aminudin.
Gejala ini terlihat dalam rentetan peristiwa yang menggegerkan dunia seni Indonesia tahun 2012 lalu, saat majalah Tempo memuat berita tentang dugaan palsunya sejumlah lukisan koleksi Dr. Oei Hong Djien yang ditampilkan di museum miliknya di kota Magelang.
Bahkan, menurut Aminudin, Ia juga pernah melihat sejumlah lukisan yang mengaku karya maestro Indonesia, padahal merupakan karya palsu, di rumah seorang kolektor di luar negeri.
Jenis pemalsuan yang sering menipu kolektor bukanlah yang menggunakan cara penjiplakan sebuah lukisan asli, jelasnya, melainkan dengan cara membuat lukisan baru namun menggunakan gaya melukis yang sering dipakai seorang maestro, lalu lukisan baru itu dijual sebagai karya asli sangmaestro.
Lesley Alway, direktur lembaga Asialink Arts, yang bernaung di bawah University of Melbourne, menyatakan bahwa masalah pemalsuan karya pun masih muncul di Australia, terutama dalam bidang seni khas bumiputera.
“Saya rasa [pembahasan ini] sudah pernah kita dengar sebelumnya di Australia, dengan adanya booming seni bumiputera aborigin,” ucapnya.
Ketimpangan dan Keberlanjutan
Selain masalah seputar pemalsuan karya, berbagai masalah lain seputar dunia seni di Asia dan Australia dibahas dalam simposium tersebut.
Kelly Gellatly, direktur Museum Ian Potter di Melbourne, mempertanyakan apakah seniman dari negara-negara dengan penghasilan rendah seperti Indonesia mendapat perlakuan beda saat diundang ke Australia dibanding seniman dari negara maju.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa kegemaran akan seni dari negara-negara Asia bisa jadi semacam demam atau tren yang akan berlalu.
“Ada pencaharian terus-menerus akan sesuatu yang baru, dari cara pasar dan museum seni kontemporer menemukan seni negara-negara Asia. Contohnya, kita melalui masa China selama beberapa tahun, kemudian bergeser ke India. “ucapnya,
“Apa dampak yang dirasakan generasi seniman Indonesia selanjutnya, saat ada institusi besar yang menganggap bahwa mereka sudah selesai dengan Indonesia?”
“..Yang bagus dari dialog dan hubungan antar budaya adalah sifatnya yang bertahan, berlanjut, dan bisa beradaptasi dan tumbuh,” lanjut Gellatly yang sempat mengkurasi pameran bersama dua seniman Indonesia: Eko Nugroho dan Jompet Kuswidananto, di kota Melbourne.
Kabar Baik Dunia Seni
Ada juga kabar baik dari dunia seni Asia Tenggara.
Antara lain, mulai banyaknya tokoh seni seperti kurator yang mencoba menggali filsafat dan sejarah Asia untuk mempelajari dan mengkurasi seni di kawasan mereka, sebagai tandingan dari sudut-sudut pandang yang diadopsi dari negara-negara barat.
Para seniman dari Asia Tenggara pun kini makin kaya dalam kerangka dan inspirasi, contohnya Eko Nugroho dan Jompet Kuswidananto. Karena mengambil inspirasi dari berbagai kawasan, karya mereka pun bisa dinikmati oleh pengunjung pameran yang datang dari berbagai negara.
Selain itu, diungkit pula betapa menjanjikannya peran media sosial internet dalam pembuatan karya seni di Asia Tenggara, karena begitu banyak penduduk kawasan ini yang menggunakan media sosial hampir terus-menerus setiap hari.
Jakarta, misalnya, dijuluki ibukota Twitter dunia, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya paling aktif menggunakan Facebook.
Larissa Hjorth dari universitas RMIT, Melbourne, berpendapat bahwa besarnya angka ini bisa dimanfaatkan dalam dunia seni, tidak hanya untuk mempromosikan karya seni, misalnya, tetapi juga dalam proses pembuatan karya itu sendiri.
Sumber : detiknews.com