TOTABUAN.CO — Gugatan para pihak yang menolak UU Pilkada kandas di tangan tiga Hakim Mahkamah Konstitusi kemarin (13/10). Kandasnya gugatan tersebut bahkan terjadi sejak pemeriksaan pendahuluan. Sebab, MK menyatakan jika objek gugatan, yakni UU nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sudah hilang.
Sidang yang dihadiri oleh lima hakim konstitusi itu sedianya mengagendakan pemeriksaan pendahuluan. Namun, ketua sidang, yakni hakim Konstitusi Arief Hidayat memutuskan tidak memberikan nasihat terkait gugatan. “Berhubung Undang-Undang ini sudah digasak oleh Perppu, maka objek permohonan ini sudah hangus begitu, hilang,” ujarnya.
Objek permohonan yang dimaksud adalah UU Pilkada. Berdasarkan argumen tersebut, Arief menyarankan agar sembilan pemohon yang kemarin perkaranya disidangkan bersama mencabut gugatannya. Kalaupun pemohon tetap bersikeras melanjutkan, maka uji materi itu akan tetap berlanjut namun tanpa objek yang hendak diujikan.
Keluarnya Perppu nomor 1 Tahun 2014 membuat UU Pilkada otomatis dicabut, terlepas apakah nantinya Perppu tersebut disetujui oleh DPR atau tidak. “Dikatakan dicabut karena yang mengeluarkan (UU) sendiri yang menariknya, yakni Presiden atau DPR,” sambung Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Konsekuensi lain baru akan muncul ketika Perppu tersebut ternyata tidak disetujui DPR. Hal itu akan mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum. Di satu sisi, UU Pilkada telah dicabut, namun di sisi lain Perppu tidak disetujui oleh DPR. Karena itu, MK menyarankan para pemohon menunggu perkembangan terkini mengenai Perppu tersebut.
Arief kemudian merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut dia, jika Perppu ditolak oleh DPR, maka akan timbul problematika. “Kalau itu (Perppu) ditolak, maka tidak otomatis Undang-Undang (yang dicabut) itu berlaku. Tapi masih ada disebutkan di situ konsekuensi hukum lebih lanjut,” tuturnya.
Hanya saja, konsekuensi lebih lanjut itu tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU nomor 11 tahun 2014 itu. Dalam pasal 52 (6) disebutkan jika Pemerintah atau DPR harus mengajukan RUU Pencabutan Perppu.
RUU tersebut mengatur segala konsekuensi hukum yang ditimbulkan oleh pencabutan Perppu. Tidak menutup kemungkinan RUU tersebut berisi perintah untuk memberlakukan kembali. Karena itulah, Arief hanya menyebut adanya konsekuensi lebih lanjut tanpa menjelaskan konsekuensi yang dimaksud.
Sementara itu, kuasa hukum Partai Nasdem OC Kaligis menyatakan pihaknya tetap akan melanjutkan gugatan tersebut. Menurut dia, gugatan itu diajukan untuk mendapat kepastian hukum.
Sebab, Perppu itu sendiri juga belum final karena DPR belum menyatakan setuju atau tidak. “Selama masih ada masalah, kami berhak untuk mengajukan pengujian,” ujarnya.
Pihaknya ingin mengetahui pendapat para majelis hakim. Selain itu, pihaknya melihat peluang adanya dissenting opinion dalam pengujian UU tersebut, dan dissenting opinion tersebut cenderung mengarah kepada pengujian Perppu
Sumber : jpnn.com