TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU —Gelombang dukungan kepada mantan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) dr. Sitti Korompot, terus menguat. Selasa (25/11), puluhan tenaga medis dari rumah sakit tersebut menggelar aksi damai sebagai bentuk protes terhadap penetapan dr. Sitti sebagai tersangka dalam dugaan kasus malpraktik oleh penyidik Polres Kotamobagu.
Aksi berlangsung di dua lokasi, yakni depan Mapolres Kotamobagu dan berlanjut ke Kantor DPRD Kota Kotamobagu. Para tenaga kesehatan yang hadir membawa poster bertuliskan tuntutan serta dukungan moral. Sorakan “Save Dokter Sitti” menggema sepanjang aksi berlangsung.
Para peserta aksi menilai penetapan status tersangka terhadap dr. Sitti sarat kejanggalan dan tidak mencerminkan pemeriksaan profesional berbasis etik dan standar medis.
“Pasien menjalani operasi pada Desember 2024 dan meninggal pada Februari 2025. Ada rentang waktu yang panjang dan itu harus diselidiki secara objektif, bukan langsung menyimpulkan malpraktik,” ujar salah satu tenaga medis peserta aksi.
Koordinator aksi, Didi Musa, menyampaikan sejumlah poin tuntutan di hadapan aparat serta anggota DPRD. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa proses hukum terhadap dr. Sitti harus dilakukan secara transparan dan berbasis prosedur medis yang benar.
Isi tuntutan tersebut antara lain:
Menolak segala bentuk kriminalisasi tenaga kesehatan yang bekerja sesuai standar profesi, SOP, dan kewenangan medis yang sah.
Menuntut proses hukum objektif, profesional, dan transparan, serta melibatkan organisasi profesi dalam audit medis.
Menegaskan bahwa komplikasi medis bukan tindak pidana. Medical error tidak dapat otomatis disamakan dengan kelalaian kriminal tanpa audit medis yang menyeluruh.
Meminta Pemerintah Daerah dan Kementerian Kesehatan memberikan advokasi serta perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang bekerja di kondisi berisiko tinggi.
Mengajak masyarakat memahami realitas dunia medis bahwa dokter adalah manusia yang bekerja dengan dedikasi, bukan mesin tanpa kemungkinan risiko medis.
Aksi tersebut tidak hanya menjadi bentuk dukungan moral bagi dr. Sitti, namun juga menjadi simbol kekhawatiran tenaga kesehatan lainnya. Mereka berharap kasus ini tidak menjadi preseden buruk yang membuat tenaga medis bekerja dalam tekanan dan ketakutan kriminalisasi.
“Dokter, perawat, semua tenaga medis bekerja untuk menyelamatkan nyawa. Jika setiap komplikasi dianggap tindak pidana, maka siapa yang berani mengambil tindakan medis darurat?” tegas salah satu peserta aksi melalui pengeras suara.
Kasus yang menimpa dr. Sitti Korompot bukan hanya sekadar proses hukum, melainkan menjadi alarm keras bagi dunia kesehatan di daerah ini. Ketika seorang tenaga medis yang bekerja berdasarkan sumpah profesi, standar operasional, serta bertujuan menyelamatkan pasien justru diperlakukan sebagai pelaku kejahatan sebelum audit medis yang komprehensif dilakukan, maka yang terancam bukan hanya satu orang melainkan seluruh sistem kesehatan.
Kriminalisasi terhadap tindakan medis tanpa melibatkan mekanisme etik profesi berpotensi menciptakan ketakutan bagi dokter dan tenaga kesehatan lain. Ketakutan ini dapat berujung pada efek domino dokter enggan mengambil tindakan berisiko tinggi untuk menyelamatkan pasien, rumah sakit akan lebih berhati-hati daripada berani bertindak, dan masyarakat pada akhirnya menjadi pihak yang paling dirugikan.
Dalam konteks tersebut, dukungan terhadap dr. Sitti bukan semata pembelaan personal, tetapi juga pembelaan terhadap marwah profesi tenaga kesehatan yang bekerja di ruang antara hidup dan kematian dengan risiko yang tidak pernah ringan. (*)







