Minggu (12/10) siang, jalan menuju Kotamobagu terasa seperti tungku. Panasnya memantul ke kaca mobil, menyengat. Di tengah perjalanan, sebuah pesan masuk ke ponsel saya dua gambar tangkapan layar berita lama.
“Masih ingat berita ini?” tulis seorang kawan, disertai screenshot artikel tahun 2017. Saya menatap layar, dan waktu seolah berputar mundur. Berita itu tentang Marsel Aliu, mantan Ketua DPRD Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), yang kala itu ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan terhadap Bupati Hi. Herson Mayulu (H2M).
Rekam jejak digital rupanya memang tak pernah tidur. Apa yang pernah terjadi, tersimpan abadi, menunggu saat untuk muncul kembali mengingatkan bahwa reputasi tak bisa dikubur oleh waktu.
Kini, delapan tahun berselang, nama Marsel kembali mencuat. Bukan karena prestasi, melainkan karena ulah yang sama: luapan emosi dan ketidakmampuan mengendalikan diri.
Peristiwa itu terjadi di Sekretariat DPRD Bolsel. Marsel, kini bernaung di Partai NasDem, dikabarkan mengamuk dan merusak fasilitas kantor lantaran uang perjalanan dinasnya belum cair. Dengan nada keras dan sikap memberontak, ia melampiaskan kemarahan di ruang publik yang seharusnya dijaga wibawanya.
Meja terbalik. Kursi dan lemari berserakan. Berkas-berkas berantakan di lantai. Para ASN berhamburan keluar, panik, menyaksikan “tanduk politik” yang muncul dari sosok yang dulu memegang palu sidang kehormatan.
“Kalau dulu ketua partainya saja dia hina, apalagi staf biasa,” ujar seorang kawan dengan nada sarkastik.
Kalimat itu terdengar ringan, tapi menyentuh akar persoalan yang lebih dalam jabatan tanpa kedewasaan dan kekuasaan tanpa integritas.
Marsel seolah menjadi potret kecil dari penyakit besar yang menjangkiti sebagian politisi daerah, mudah marah, miskin gagasan, dan haus penghormatan. Ia mewakili generasi politisi yang lahir bukan dari proses panjang pemikiran dan pengabdian, melainkan dari kenyamanan kekuasaan dan ketebalan ego.
Ketika kursi tidak lagi dilihat sebagai amanah, tapi sebagai hak yang boleh dipertahankan dengan cara apa pun termasuk dengan kemarahan.
Bagi publik Bolsel, insiden ini hanyalah ulang tayang dari bab lama. Seorang figur yang tak belajar dari masa lalu. Dari tersangka penghinaan pada 2017 hingga perusakan fasilitas di 2025, pola yang sama berulang emosi mendahului akal sehat.
Dan mungkin di situlah letak tragedinya.
Bukan karena Marsel kehilangan jabatan atau citra, tapi karena ia kehilangan kesempatan untuk berubah.
Rekam digital boleh mengingatkan kita pada masa lalu. Namun tindakan hari ini yang kembali mencoreng wibawa lembaga menegaskan satu hal. Marsel Aliu bukan sekadar memiliki catatan buruk di masa lalu. Ia sedang menulis ulang catatan buruk yang sama di masa kini. (*)