TOTABUAN.CO BOLSEL — Pasca insiden yang melibatkan Marsel Aliu, oknum anggota DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dari Fraksi Partai NasDem, suasana publik mendidih.
Amukan dan perusakan fasilitas di salah satu ruangan kantor Sekretariat DPRD yang dilakukan Marsel pada Kamis (9/10/2025) telah mengguncang citra lembaga legislatif. Namun kini, persoalan itu melebar.
Warga mulai menduga adanya penggunaan narkotika di kalangan anggota DPRD, dan menuntut agar seluruh wakil rakyat di Bolsel dilakukan tes urine massal.
“Kami minta BNN atau Polda Sulut segera turun dan lakukan tes urine terhadap 20 anggota DPRD Bolsel. Jangan biarkan dugaan ini menggantung. Kami sudah melihat banyak perilaku aneh, emosional, bahkan seperti tidak terkontrol,” ujar seorang warga Bolsel yang meminta identitasnya tidak disebutkan.
Desakan ini muncul setelah publik menilai perilaku Marsel yang mengamuk karena uang perjalanan dinas belum cair sebagai tindakan tidak wajar dan di luar kendali emosional.
Ia diduga membanting meja, merusak printer, lemari arsip, hingga berkas keuangan penting. Tidak berhenti di situ, ia juga menulis pesan bernada ancaman di grup WhatsApp Sekretariat DPRD:
“Yang tadi itu baru contoh, belum Depe Asli..Jadi jangan coba-coba.”
Aksi tersebut menimbulkan pertanyaan serius di tengah masyarakat, apakah amarah ekstrem seperti itu masih tergolong reaksi emosional biasa, atau sudah dipicu oleh faktor lain seperti pengaruh zat adiktif?
Menurut sejumlah pemerhati sosial dan kesehatan, penggunaan narkotika, terutama jenis stimulan seperti sabu-sabu atau ekstasi, dapat memicu ledakan emosi yang tidak terkendali, perilaku agresif, dan gangguan penilaian moral.
Konsumsi zat ini pada jangka waktu tertentu menyebabkan hiperaktivitas, rasa percaya diri berlebihan, dan mudah tersulut amarah.
“Salah satu dampak nyata narkoba terhadap perilaku adalah menurunnya kemampuan mengontrol diri. Emosi jadi labil, marah berlebihan, dan kadang agresif terhadap hal-hal sepele,” jelas seorang konselor rehabilitasi di Kotamobagu saat dimintai tanggapan.
Fenomena seperti ini membuat desakan masyarakat untuk tes urine massal terhadap anggota DPRD Bolsel menjadi langkah yang sangat logis dan mendesak.
Warga beralasan, jika benar ada anggota legislatif yang terpengaruh narkoba, maka keputusan politik dan kebijakan publik di Bolsel sangat berisiko disetir oleh individu yang tidak stabil secara mental dan emosional.
Kasus Marsel bukan sekadar persoalan pribadi, tapi mencerminkan krisis etika dan degradasi moral wakil rakyat.
Publik mulai mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang yang diberi mandat memperjuangkan kepentingan rakyat justru mengamuk demi uang perjalanan dinas, bukan memperjuangkan hak rakyat miskin, pendidikan, atau pelayanan publik.
“Kalau begini perilakunya, siapa yang masih percaya dengan DPRD? Mereka seharusnya jadi panutan, bukan tontonan,” tegas seorang tokoh masyarakat di Bolaang Uki.
Etika pejabat publik menuntut setiap anggota DPRD untuk menjaga kehormatan jabatan, pengendalian diri, dan rasa tanggung jawab moral.
Namun perilaku seperti mengamuk, merusak fasilitas negara, dan mengancam pegawai memperlihatkan bahwa sebagian pejabat daerah telah kehilangan kendali diri dan lupa makna pelayanan publik.
Masyarakat juga menyoroti Partai NasDem, tempat Marsel Aliu bernaung. Sebagai partai dengan slogan “Gerakan Perubahan”, NasDem didesak untuk membuktikan integritasnya dengan memberikan sanksi tegas dan melakukan pembinaan terhadap kader yang mempermalukan lembaga legislatif.
“Kalau NasDem diam, publik akan menilai partai ini tidak lebih baik dari yang lain. Gerakan Perubahan jangan cuma jadi slogan di spanduk,” sindir seorang aktivis muda Bolsel.
Desakan terhadap BNN Sulut dan Polda Sulut juga semakin kuat. Warga menilai, langkah tes urine massal bukan hanya untuk membongkar potensi pelanggaran hukum, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik terhadap wakil rakyat.
Kemarahan publik terhadap perilaku wakil rakyat seperti Marsel Aliu adalah bentuk perlawanan terhadap politik tanpa moral.
Masyarakat sudah muak melihat pejabat yang kehilangan kendali diri, apalagi jika hal itu disebabkan oleh pengaruh narkoba atau gaya hidup yang tidak pantas.
Penggunaan narkotika pada pejabat publik bukan hanya pelanggaran hukum, tapi pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
DPRD Bolsel kini berada di titik kritis. Apakah mereka akan berani membuktikan diri bersih dan beretika, atau justru membiarkan nama lembaga terus tercoreng oleh perilaku destruktif para oknum? Satu hal pasti, tanpa keberanian moral dan tindakan tegas, kepercayaan rakyat yang runtuh tidak akan pernah bisa pulih. (*)