TOTABUAN.CO BOLTIM — Aroma keresahan mulai tercium dari Desa Tobongon, Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Wilayah yang selama ini dikenal sebagai zona tambang rakyat tertib dan hijau kini diguncang isu serius dugaan adanya oknum penambang menggunakan alat berat excavator di area Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Satu unit alat berat jenis excavator terekam bebas keluar-masuk lokasi tambang, mengeruk material di area yang selama puluhan tahun dikelola masyarakat dengan cara manual. Aktivitas tersebut sontak memicu kemarahan warga dan para penambang lokal yang merasa tradisi serta komitmen menjaga alam Tobongon tengah diinjak-injak.
Desa Tobongon dikenal luas sebagai salah satu kawasan tambang rakyat yang masih mempertahankan sistem penggalian manual. Para penambang turun-temurun di desa ini menggali lubang dengan alat sederhana.
Tak hanya mencari nafkah, mereka juga menjunjung prinsip menjaga hutan dan sumber air di kawasan pegunungan Tobongon. Hasilnya, hingga kini kawasan WPR Tobongon tetap hijau dan rindang, jauh dari kesan rusak seperti di banyak lokasi tambang lain di Boltim.
Namun kedamaian itu kini mulai retak. Kini, kabar muncul bahwa ada alat berat bekerja di tengah area WPR. Nama oknum inisial F disebut-sebut warga sebagai pemilik excavator yang kini menjadi sorotan.
“Dia tahu betul di sini tidak boleh pakai alat berat. Tapi entah kenapa, dia masih berani menambang dengan cara begitu,” ungkap salah satu penambang yang enggan disebut namanya.
Tambang WPR Tobongon, terlihat sejumlah kerusakan di area hutan. Jalur yang dulunya hanya bisa dilalui jalan kaki kini berubah menjadi lintasan lebar dengan bekas roda alat berat yang masih segar.
Terlihat pula bekas galian besar dan pembuatan bak rendaman, mengindikasikan adanya aktivitas penambangan sistem redaman metode yang biasa digunakan untuk mengolah material tambang dalam skala besar.
“Ini jelas bukan kerja penambang manual. Tidak mungkin lobang seperti ini bisa digali dengan tenaga manusia. Sudah pasti pakai alat berat,” kata salah satu warga yang ikut meninjau lokasi.
Keberadaan alat berat di WPR Tobongon juga dikhawatirkan akan menjadi pintu masuk bagi praktik serupa dari pihak lain. Warga takut, jika hal ini dibiarkan, Tobongon akan mengalami nasib yang sama seperti Desa Lanut, yang kini rusak parah akibat penambangan tak terkendali.
Suasana di desa kini memanas. Puluhan penambang yang biasa bekerja di lokasi manual menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka secara terbuka.
“Kami ini menambang sambil menjaga alam. Dari dulu, tak ada satu pun alat berat yang berani masuk ke sini. Kalau dibiarkan, kami khawatir hutan Tobongon akan hilang,” ujar perwakilan penambang.
Mereka menegaskan, keberadaan excavator di lokasi WPR merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap kesepakatan bersama antara warga, pemerintah desa, dan pihak terkait yang telah lama disepakati.
“Kami minta aparat turun tangan. Jangan biarkan keserakahan satu orang merusak hutan dan nama baik Tobongon. Kalau dibiarkan terus, kami sendiri yang akan menghentikan,” tegas mereka.
Para penambang mendesak Kapolres Boltim, Kapolsek Modayag, Camat Modayag, dan Kepala Desa Tobongon untuk segera mengambil langkah konkret menghentikan aktivitas alat berat di wilayah tambang rakyat. Mereka juga meminta agar lokasi WPR Tobongon dijaga dan dipantau lebih ketat agar tidak dimasuki pihak-pihak tak bertanggung jawab.
“Jangan karena merasa punya bekingan kuat, lalu seenaknya membawa alat berat ke WPR. Kami di sini pejuang ekonomi kecil, tapi kami tahu aturan. Kalau semua begini, habis sudah alam Tobongon,” tutur para penambang dengan nada geram.
Hingga berita ini diterbitkan, tim media masih berupaya menghubungi oknum Fani, yang disebut-sebut sebagai pemilik excavator dan pengelola usaha pengolahan material di sekitar WPR Tobongon. Namun, hingga malam tadi, yang bersangkutan belum berhasil ditemui untuk memberikan klarifikasi. (*)