TOTABUAN.CO BOLMONG— Kasus kebakaran yang terjadi di depan SPBU Komangaan Minggun(14/9) memunculkan kekhawatiran publik terkait keselamatan penyaluran bahan bakar di tingkat masyarakat. Warga menilai, insiden itu menjadi peringatan agar pemerintah lebih serius mengkaji keberadaan pertamini yang banyak beroperasi di rumah-rumah warga.
Pertamini selama ini menjadi alternatif mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan bahan bakar, terutama di lokasi yang jauh dari SPBU resmi. Namun, di balik kemudahan itu, terdapat risiko besar. Sebagian besar pertamini tidak memenuhi standar operasional prosedur (SOP) sebagaimana yang diberlakukan di SPBU.
“Kalau di SPBU ada pengawasan, ada aturan ketat. Tapi di pertamini, kita bisa lihat sendiri, banyak yang jualan di teras rumah, bahkan dekat dengan permukiman padat. Itu jelas rawan,” ungkap seorang warga Komangaan yang enggan disebutkan namanya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas pertamini masih berjalan tanpa pengawasan berarti dari pemerintah. Penjualan BBM jenis Pertalite maupun Pertamax dilakukan dengan alat sederhana dan wadah yang jauh dari standar keamanan. Kondisi ini memperbesar risiko terjadinya kebakaran akibat percikan api, korsleting listrik, atau kelalaian manusia.
“Kebakaran di depan SPBU kemarin seharusnya jadi bahan evaluasi. Kalau di lokasi resmi saja bisa terjadi, apalagi di rumah warga yang tidak punya standar keselamatan,” tambahnya.
Masyarakat berharap pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum segera menaruh perhatian serius terhadap keberadaan pertamini. Regulasi yang jelas diperlukan agar penjualan BBM di permukiman tidak hanya mengedepankan sisi ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek keselamatan.
Selain itu, perlu dipikirkan solusi alternatif agar kebutuhan bahan bakar masyarakat tetap terpenuhi tanpa mengorbankan keselamatan. Salah satunya, memperluas jangkauan SPBU mini resmi yang sudah diatur oleh Pertamina dengan standar keamanan tertentu.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas, tetapi juga keselamatan masyarakat. Potensi kebakaran di area pertamini bisa berdampak fatal, tidak hanya bagi penjual, tetapi juga lingkungan sekitar.
“Pemerintah harus bertindak. Jangan tunggu sampai ada korban jiwa baru kemudian bereaksi,” tegas seorang tokoh masyarakat di Bolaang Mongondow.(*)