TOTABUAN.CO BOLMONG —Di era digital seperti sekarang, jari bisa lebih tajam dari pedang. Inilah yang terjadi di Desa Siniyung, Kecamatan Dumoga Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Dua warganya harus berurusan dengan hukum setelah konten yang mereka unggah di media sosial dinilai melukai toleransi dan mengancam kerukunan umat beragama.
MM alias Maxi dan FD alias Frando, dua nama yang kini ramai diperbincangkan warga Bolaang Mongondow Raya. Dalam dua unggahan berbeda di Facebook, keduanya diduga menyebarkan ujaran kebencian dan penistaan agama. Dampaknya tak main-main. gelombang kecaman datang dari berbagai elemen masyarakat, bahkan ribuan warga menuntut tindakan tegas dari aparat.
Tak tinggal diam, Polres Bolaang Mongondow bergerak cepat. Dalam waktu empat hari, keduanya berhasil diamankan dari rumah masing-masing oleh tim Reskrim.
“Penindakan ini adalah langkah preventif. Kami ingin menjaga stabilitas dan mencegah konflik horizontal,” jelas Kasat Reskrim IPTU Stevanus Mentu.
Saat ini, keduanya sedang menjalani pemeriksaan intensif di Polsek Dumoga Tengah. Pihak kepolisian memastikan proses hukum berjalan sesuai prosedur, dengan mengacu pada UU ITE dan pasal-pasal terkait penodaan agama.
Bolaang Mongondow Raya selama ini dikenal sebagai wilayah yang damai dengan keberagaman masyarakatnya. Namun peristiwa ini menjadi pengingat bahwa provokasi di ruang digital bisa merembet ke konflik nyata bila tak segera ditangani.
Wakil Ketua DPMI Sulawesi Utara, Denny Mokodompit, menilai tindakan pelaku sebagai bentuk penyalahgunaan kebebasan berpendapat.
“Ini bukan soal agama saja, ini soal tanggung jawab sosial. Media sosial harus digunakan untuk menyatukan, bukan memecah belah,” tegasnya.
Denny mengapresiasi langkah cepat kepolisian dan berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bersama. Ia juga mengajak masyarakat lebih bijak dalam bermedia sosial, serta terus merawat semangat toleransi yang menjadi kekuatan utama daerah ini.
Kasus ini menjadi cerminan bahwa negara hadir dalam menjaga ketertiban umum dan kebebasan beragama. Namun lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa perbedaan bisa dikelola secara damai selama semua pihak mau saling menghargai dan taat pada hukum.
Kita semua punya tanggung jawab yang sama menjaga ruang digital tetap sehat, mencegah provokasi, dan mewariskan nilai-nilai toleransi kepada generasi berikutnya. Karena sekali jari salah mengetik, bisa jadi seluruh masyarakat ikut menanggung akibatnya. (*)