TOTABUAN.CO BOLMONG —Isu tentang tambang emas kembali memantik bara di tengah masyarakat. Sebuah media online baru-baru ini menerbitkan berita dengan judul mencolok: “Polemik Tambang Emas PT BDL, Masyarakat Toruakat Bongkar Fakta Kezoliman.” Judul yang menohok itu pun segera menyebar luas di media sosial, memantik kecaman dari berbagai pihak. Namun, benarkah kisah tersebut berdiri di atas fakta?
Menanggapi pemberitaan itu, pihak PT BDL akhirnya angkat bicara. Melalui Human Resource Development (HRD) perusahaan, Ronal Saweho, PT BDL menyebut laporan tersebut sebagai tendensius, tidak berimbang, dan tidak sesuai fakta lapangan.
“Isi beritanya sangat menyudutkan. Tidak ada konfirmasi ke perusahaan, dan yang disampaikan hanya sepihak,” tegas Ronal dalam wawancara pada Jumat 5 September 2025.
Ia menambahkan bahwa pihaknya sangat menyayangkan sikap media tersebut yang dinilai tidak menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Dalam waktu dekat, PT BDL berencana melayangkan somasi dan melaporkan media tersebut ke Dewan Pers.
Menurut Ronal, pemberitaan soal perluasan area tambang, perusakan lingkungan, hingga pengusiran warga adalah tidak benar. PT BDL menegaskan bahwa tidak ada perluasan wilayah konsesi, dan aktivitas perusahaan tetap berada dalam batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang telah ditetapkan.
“WIUP PT BDL tidak berada di Desa Toruakat. Bahkan secara jarak pun jauh, sehingga kecil kemungkinan terjadinya dampak langsung terhadap lahan produktif milik warga di sana,” terang Ronal.
Lebih lanjut, Ronal menyebut bahwa lokasi tambang PT BDL berada di kawasan hutan produksi yang telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan peta resmi dalam sistem aplikasi Minerba One Map Indonesia (MOMI) milik Kementerian ESDM, posisi tambang PT BDL pun sudah sangat jelas dan terverifikasi secara hukum.
Salah satu tudingan paling sensitif adalah isu pengusiran warga oleh perusahaan. PT BDL menampiknya secara tegas.
Ronal mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan perusahaan adalah penertiban terhadap aktivitas penambangan liar di dalam wilayah konsesi, yang telah dilakukan dengan prosedur resmi dan penuh etika.
“Sejak tahun 2021 hingga 2023, kami sudah tiga kali melayangkan surat imbauan resmi agar aktivitas tambang liar dihentikan,” jelasnya.
Bahkan saat penertiban dilakukan, kata Ronal, tidak ada warga yang ditahan. Sebaliknya, perusahaan justru memfasilitasi para warga yang terkena penertiban.
“Kami sediakan makanan sebelum mereka turun dari lokasi, dan barang-barang mereka diangkut menggunakan kendaraan perusahaan, lalu dikembalikan langsung ke pemiliknya,” tambahnya.

Isu tanah adat juga turut mencuat dalam pemberitaan media tersebut. Sejumlah warga disebut mengklaim bahwa PT BDL telah mengambil alih tanah adat mereka. Namun menurut Ronal, klaim itu tidak berdasar.
“Wilayah konsesi kami berada di kawasan hutan produksi yang sah secara hukum. Tidak ada wilayah adat yang kami ambil,” ujarnya.
Dengan luas WIUP sekitar 99 hektare, PT BDL mengakui bahwa mereka berkewajiban menjaga batas wilayah tambangnya dari aktivitas ilegal. Karena itu, langkah penertiban yang dilakukan bukan bentuk arogansi, melainkan bagian dari upaya perusahaan menjaga legalitas dan kelestarian lingkungan.
“Kami tidak pernah bertindak sewenang-wenang. Semua proses dilakukan sesuai regulasi,” tutup Ronal.
Polemik ini membuka kembali diskusi tentang pentingnya keberimbangan dalam jurnalisme. Di tengah derasnya arus informasi, publik berhak tahu fakta dari berbagai sisi. Dan perusahaan seperti PT BDL juga berhak menyampaikan klarifikasinya agar tidak terjadi penghakiman sepihak.
Kini, PT BDL tengah menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan atas pemberitaan yang mereka anggap menyesatkan. Sementara masyarakat, selayaknya menunggu hasil investigasi yang sahih bukan hanya dari suara media, tapi juga dari data dan hukum yang berbicara. (*)