TOTABUAN.CO BOLSEL – Seorang ayah duduk menatap foto anaknya yang kini hanya tinggal kenangan. Wajah Revan Kurniawan Santoso, atau Aan, masih terpampang jelas di ruang tamu. Wajah muda, penuh harapan yang kini telah tiada.
Aan meninggal dalam kondisi tragis. Ia diduga menjadi korban penganiayaan oleh oknum anggota Polisi Polres Bolsel. Sejak hari itu, hidup keluarga kecil ini berubah. Duka menyelimuti hari-hari mereka, tapi yang lebih menyakitkan, keadilan terasa begitu jauh.
Inton Santoso Ayah Aan, bukan orang kaya. Ia bukan siapa-siapa di mata hukum. Tapi ia seorang ayah yang hancur hatinya, dan bertekad untuk memperjuangkan kebenaran meski harus berjalan sendirian.
“Ini demi keadilan, demi Aan,” ucapnya pelan, menahan air mata yang nyaris jatuh.
Kini, Inton harus menempuh jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya menyewa pengacara untuk memperjuangkan keadilan bagi anaknya. Tidak ada tabungan yang bisa diandalkan, tak ada harta yang bisa dijual. Yang tersisa hanyalah harapan, dan keyakinan yang nyaris rapuh, bahwa di luar sana, masih ada hati-hati yang peduli. Masih ada orang-orang yang tak menutup mata pada tangis seorang ayah yang kehilangan, dan tak tuli terhadap jeritan keadilan yang kian samar.
“Kami bukan siapa-siapa. Tapi saya yakin, langit masih akan memberi jalan,” katanya, menggenggam erat foto anaknya, seolah masih bisa memeluk tubuh yang sudah tak bisa kembali.
Di tengah keterbatasan, keluarga ini memilih bangkit. Mereka tahu, keadilan mungkin mahal. Tapi cinta orang tua tak bisa dibeli dan tak bisa dibungkam.
Kini mereka membuka diri, berharap uluran tangan dari siapa saja yang bersedia membantu perjuangan ini. Bukan semata karena ingin menang, tapi karena tidak ada anak yang pantas pergi seperti Aan. Dan tidak ada ayah yang seharusnya berjuang sendirian melawan dinding hukum yang tinggi. (*)