Rumah sederhana di Desa Sondana itu kini tak pernah sepi. Sejak kabar duka datang, warga berdatangan silih berganti. Ada yang membawa air mineral, ada yang datang hanya untuk menyalami nenek Aan, dan tak sedikit yang menyelipkan amplop kecil sebagai bentuk simpati yang tulus.
Aan atau Revan Kurniawan Santoso, pemuda 20 tahun telah pergi. Ia meninggal dunia setelah menjalani perawatan di RSUD Bolsel, diduga akibat penganiayaan yang terjadi saat ia berada di dalam sel tahanan Polres Bolaang Mongondow Selatan.
Kepergiannya menyisakan duka. Tapi dari duka itu pula, lahir gelombang empati. Dari warga biasa, tokoh masyarakat, hingga para pejabat, simpati datang tanpa diminta. Tidak sekadar ucapan belasungkawa, tetapi dalam bentuk nyata: donasi.
“Uang terkumpul itu hasil donasi dari masyarakat sebagai rasa simpati dan empati,” kata salah satu anggota keluarga Aan.
Saat ini, donasi yang terkumpul bukan angka besar dalam ukuran dunia, tetapi sangat berarti bagi keluarga yang hanya hidup dari apa adanya.
Mereka tidak punya kendaraan sendiri, tidak punya tabungan, dan tidak punya akses yang mudah untuk layanan kesehatan lanjutan.
Padahal, Aan awalnya direncanakan akan dirujuk ke rumah sakit di Manado. Namun, biaya menjadi tembok penghalang. Semua serba terlambat. Kini, sumbangan itu akan digunakan untuk membiayai proses hukum yang masih berjalan. Karena meski Aan sudah tiada, keluarganya bertekad agar kebenaran tak ikut terkubur.
Donasi ini tak hanya sekadar angka. Di baliknya, ada harapan. Ada kepedulian yang tumbuh di tengah masyarakat bahwa nyawa manusia berharga, bahwa siapa pun pantas mendapatkan keadilan, dan bahwa duka tidak harus dilalui sendirian.
Setiap rupiah yang masuk ke rekening keluarga Aan adalah bentuk cinta. Dari seseorang yang mungkin tak pernah mengenalnya, tapi ikut merasakan kehilangan. Dari seorang ibu yang membayangkan anaknya sendiri, dari seorang tetangga yang tahu betapa kerasnya hidup di bawah garis sejahtera.
Kehilangan Aan menjadi luka, tapi juga pengingat bahwa kemanusiaan masih hidup di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering tak peduli, masih banyak yang ingin menyalakan lilin, meski dalam kegelapan.
Aan mungkin sudah pergi. Tapi jejaknya tetap tertinggal, dalam bentuk simpati dan solidaritas. Sebuah bukti bahwa di tengah duka, masih ada harapan yang tumbuh pelan, namun nyata.
Penulis: Hasdy