TOTABUAN.CO BOLSEL– Di sudut sebuah kamar rumah sakit yang sunyi, seorang pemuda bernama Revan Kurniawan Santoso atau lebih akrab dipanggil Aan menuliskan catatan terakhir dalam hidupnya. Goresan pena yang tampak lemah, tapi menyimpan teriakan yang nyaring. Teriakan tentang rasa sakit, ketidakadilan, dan harapan terakhir yang nyaris padam.
Aan, 20 tahun, pemuda asal Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), meregang nyawa dalam kondisi luka dan sakit. Bukan karena kecelakaan, bukan pula karena penyakit bawaan, melainkan diduga akibat penganiayaan saat dalam tahanan polisi.
Sebelum kepergiannya, Aan sempat menulis pengakuan bahwa ia dianiaya oleh oknum aparat saat berada di sel tahanan Polres Bolsel. Dalam catatan itu, Aan mengungkapkan dada kanannya sakit akibat dipukul dengan pipa besi. Bukan hanya dada, kedua pahanya juga menjadi sasaran kekerasan yang sama.
Ketika akhirnya dilarikan ke rumah sakit, nyawanya sudah di ujung tanduk. Tim medis menyatakan Aan mengalami infeksi serius akibat hantaman benda tumpul di dada. Selama tiga hari pasca operasi, kondisi Aan tidak menunjukkan perubahan. Dokter menyarankan agar ia dirujuk ke rumah sakit di Manado.
Namun, waktu dan nasib seolah tidak memberi ruang. Keluarga tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pengobatan lanjutan. Donasi yang terkumpul terlalu sedikit, dan harapan semakin menipis. Tak lama kemudian, Aan mengembuskan napas terakhirnya.
Yang lebih menyakitkan bagi keluarga bukan hanya kehilangan Aan, tapi juga sikap institusi yang mereka harapkan bisa memberi rasa keadilan. Keluarga menyayangkan sikap Kapolres Bolsel yang dinilai tidak menunjukkan empati bahkan ketika sudah mengetahui kondisi korban.
“Kalau saja beliau mau melihat langsung kondisi Aan waktu itu, mungkin hatinya akan terketuk,” ucap salah satu perwakilan keluarga dalam unggahan media sosial yang kemudian viral.
Kematian Aan terjadi di tengah suasana Hari Kemerdekaan momen ketika rakyat seharusnya merayakan kebebasan dan keadilan. Tapi justru, keluarga Aan merasa, anak mereka menjadi korban penindasan di negeri yang katanya sudah merdeka.
Kasus Aan sebenarnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan sejak 21 Juli, dan surat resmi menyusul pada 23 Juli. Namun saat surat itu ditandatangani, Aan sudah dalam keadaan sakit parah. Tidak ada kecepatan, tidak ada kepekaan. Yang tertinggal hanyalah birokrasi dan kesunyian.
Kini, keluarga hanya berharap satu hal keadilan. Bahwa anak mereka, yang telah pergi, tidak mati sia-sia. Bahwa kebenaran masih mungkin diperjuangkan. Bahwa hukum bisa ditegakkan meski terlambat, meski penuh luka.
Catatan yang tak boleh hilang
Kisah Aan bukan hanya tentang seorang anak muda yang tewas karena dugaan kekerasan. Ini adalah cermin buram dari sistem yang masih menyimpan sisi gelap. Tentang bagaimana mudahnya kekuasaan disalahgunakan. Tentang bagaimana sulitnya orang kecil mendapatkan perlindungan.
Catatan Aan adalah warisan terakhirnya. Sebuah pesan yang ia tulis dengan sisa tenaga bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk kita semua. Agar tak ada lagi Aan-Aan berikutnya. Agar kemerdekaan benar-benar bisa dirasakan, bukan sekadar dilafalkan setiap 17 Agustus.
Karena tak ada bangsa yang benar-benar merdeka jika rakyatnya masih bisa dipukul, dibungkam, dan ditinggalkan tanpa keadilan.
“Saya sakit di dada kanan. Dipukul dengan pipa besi…”
Ini goresan terakhir Revan Kurniawan Santoso.