TOTABUAN.CO BOLSEL— Revan Kurniawan Santoso alias Aan (20), pemuda asal Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) menghembuskan nafas terakhirnya pada Rabu, 20 Agustus 2025. Ia meninggal dunia saat berada di ruang IGD RSUD Bolsel, setelah menjalani masa tahanan atas dugaan kasus penikaman.
Namun, kematian Aan menyisakan tanya dan amarah. Keluarga menduga kuat, Aan mengalami kekerasan fisik saat berada dalam tahanan Polres Bolsel.
“Kami menuntut keadilan. Ada nyawa yang sudah jadi korban di sini,” ujar salah satu warga yang turut mendampingi keluarga.
Aan ditangkap oleh Tim Resmob Angin Selatan Polres Bolsel pada malam 18 Mei 2025, setelah diduga terlibat dalam penikaman terhadap seorang pria berinisial AR. Peristiwa itu terjadi saat AR dan istrinya hendak menonton konser penutupan drag race di Desa Sondana.
Berdasarkan kronologi kejadian, pelaku yang diduga Aan, awalnya sempat menegur AR secara misterius, lalu tiba-tiba kembali dan menikam korban menggunakan gunting. AR mengalami dua luka tusuk dan segera dilarikan ke RSUD Bolsel. Pelaku berhasil diamankan tak lama kemudian bersama barang bukti gunting yang dibuang di belakang masjid.
Aan kemudian dibawa ke Mapolres Bolsel untuk diperiksa lebih lanjut. Proses hukum pun berjalan. Namun, beberapa pekan setelah ditahan, kondisi kesehatan Aan mulai memburuk.
“Aan mengeluh sesak napas dan nyeri di bagian dada. Dia sempat dirawat di RS Monompia Kotamobagu,” jelas salah satu anggota keluarga.
Yang mengejutkan, Aan dipulangkan paksa oleh keluarganya karena kondisi yang makin parah. Sayangnya, nyawanya tak terselamatkan. Ia meninggal dunia di ruang gawat darurat RSUD Bolsel.
Keluarga menduga Aan bukan sekadar jatuh sakit, melainkan mengalami penganiayaan selama berada dalam tahanan Polres Bolsel. Tidak ada luka terbuka yang dijelaskan secara resmi, tetapi gejala sesak dan nyeri dada dinilai tidak wajar.
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Polres Bolsel mengenai kondisi kesehatan Aan selama ditahan, maupun dugaan kekerasan yang dialami.
“Kami berharap Kapolda Sulut segera turun tangan. Ini harus diusut tuntas,” tegas perwakilan keluarga.
Kasus ini menambah daftar panjang pertanyaan publik terkait transparansi dan akuntabilitas dalam sistem penahanan di daerah. Aktivis HAM lokal mulai angkat suara dan menyerukan investigasi independen.
Pihak keluarga berharap keadilan ditegakkan, baik terhadap kasus yang melibatkan Aan sebagai tersangka, maupun atas kematiannya yang dianggap janggal dan menyakitkan.
Kini, sorotan mengarah pada lembaga kepolisian dan lembaga penegak hukum lainnya untuk memastikan bahwa seluruh proses hukum berjalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan HAM.
Kematian Aan bukan hanya tragedi personal bagi keluarga, tapi bisa menjadi momentum bagi aparat penegak hukum di Sulawesi Utara untuk memperkuat transparansi dan menjamin tidak ada lagi nyawa yang hilang tanpa jawaban di balik tembok tahanan.(*)