TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Belum selesai laporan penggunaan dana hibah di Kejaksaan Negeri Kotamobagu, kini nama petinggi Institut Agama Islam Kotamobagu (IAIK) dikabarkan dilaporkan ke Polda Sulawesi Utara (Sulut). Laporan itu terkait dugaan praktik jual beli ijazah.
Berdasarkan informasi yang diterima media ini, praktik jual beli ijazah yang terjadi terbongkar setelah dua mahasiswa yang merupakan anggota DPRD di salah satu kabupaten, telah dinyatakan lulus dan menerima ijazah. Padahal, kedua oknum anggota DPRD itu, tidak pernah mengikuti proses kuliah di IAIK.
Menurut sumber, praktik ini sudah berlangsung lama. Mekanisme yang dijalankan IAIK penuh kejanggalan. Seperti program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
“Ada salah satu mahasiswa inisial KM telah diwisuda dan diberikan gelar akademik pada tanggal 25 Januari 2024, namun tidak pernah mengikuti proses akademik, dalam catatan pada portal Pangkalan Data Perguruan Tinggi PD Dikti,” kata sumber.
KM sendiri tercatat sebagai mahasiswa, sejak 1 September 2023 dan sampai sekarang masih tercatat aktif kuliah. Namun anehnya, KM sudah diwisuda dan telah menyandang gelar akademik.
Selain KM lanjut sumber, masih ada juga korban masyarakat lainnya yang menerima gelar akademik atau sudah diwisuda, tanpa mengikuti proses kuliah reguler sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Mereka diduga ikut menjadi korban karena ikut membayar.
“Kejadian yang terjadi di IAIK, sudah pernah dilaporkan oleh salah satu pengurus Yayasan Darul Murttagin Kotamobagu ke pihak Kopertais Wilayah VIII,” kata sumber.
Rektor IAIK Muliadi Mokodompit ketika dikonfirmasi mengatakan, hal itu merupakan isu murahan dan tidak perlu ditanggapi.
“Isu murahan begini tidak perlu ditanggapi. Kalau ada yang merasa dirugikan silakan menuntut, kan mudah. Tapi, jika hanya digoreng untuk membuat stigma negatif itu lain lagi. Alhamdulilah di BMR semua kampus tidak ada yang begini mungkin di tempat lain,” kata Muliadi.
Ia juga menegaskan, tidak gentar ketika dipanggil atau memberikan keterangan di hadapan penyidik Polda Sulut.
“Kwatir saja tidak terpikir. Karena saya/kami sudah tau siapa yang memproduksi isu ini. Ini dilakukan oleh oknum-oknum yang kami sudah tau hanya dengan modal perasaan,” kata Muiadi.
Praktik dugaan jual beli ijazah ini melanggar UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karena, terjadi pemberian gelar akademik dan ijazah tanpa melewati proses akademik.
Berdasarkan pasal 67 ayat 1 UU Sisdiknas menyatakan bahwa, perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/ atau vokasi tanpa hak, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/ atau pidana denda paling banyak 1 Miliar rupiah.
Pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak 500 juta rupiah. Atau pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan atas tindakan mengajak orang lain untuk mendapatkan gelar akademik tanpa proses kuliah dan pasal 263 KUHP tentang tindak pidana pemalsuan dokumen atas tindakan penerbitkan ijazah Strata satu (S-1) kepada orang lain yang tidak pernah melakukan proses akademik. (*)