KALI ini mesti menulis ihwal orang, tokoh atau figur. Meski sebelum memulainya, saya mesti waspada, bahkan harus eling. Karena saya wajib untuk mengingat tanda awas yang kadung sudah diberi oleh tokoh yang hendak dibahas itu. “Mohon agar saya dinilai apa adanya dan dihindarkan dari kultus pribadi,” pintanya pada para wartawan. “Jangang jaga bue-bue pa kita eh, karna kita tahu lei babue.” (begitu ungkapnya dalam Bahasa Manado: “jangan ninabobokan kita dengan puja-puji, karena saya tahu menilai dan mengatur diri sendiri).
Tokoh yang hendak kita bahas kini sebut saja namanya “Calamento”. Dia jelas adalah tokoh publik di wilayah Bolaang Mongondow Raya, sekurangnya begitulah dalam kurun waktu sebulan terakhir ini. Calamento itu memang nama keduanya, yang karena itu mungkin kedengaran asing bagi banyak orang.
Nama awalnya adalah “Jusnan”, dan nama marganya: “Mokoginta”. Lengkapnya tokoh kita ini bernama: dr. Jusnan Calamento Mokoginta, MARS. Dia sementara ini menjadi Penjabat Bupati Bolaang Mongondow yang secara resmi dilantik pada 22 Mei 2024 lalu. Dia selalu menegaskan dirinya sebagai “penjabat” saja, dan tidak sesumbar menyebut diri: “Bupati”.
Kata MARS yang ada pada akhir namanya bukanlah nama marga, seperti pada nama Bruno Mars, seorang pedendang berdarah Filipina yang bernama asli Peter Gene Hernandez itu. Kata itu juga bukan penunjuk pada nama asal planetnya, sebagaimana dipakai pada rumusan populer seorang pengarang Amerika John Gray, bahwa konon: “Men are from Mars, Women Are from Venus” (Lelaki Asalnya dari Mars, Perempuan dari Venus). Sejatinya dan lugasnya kata “MARS” pada nama tokoh kita ini adalah suffiks gelar akademiknya, singkatan dari: Magister Administrasi Rumah Sakit. Dia memang dokter yang berkeahlian mengelola rumah sakit sebagai disiplin ilmunya.
Pada dua alinea di atas itu semoga sudah jelas, siapa syah dan figur yang menjadi pokok bahasan kita.
Kata nama “Calamento” sejatinya adalah nama pilihan yang dapat dilacak arti padanannya dari Bahasa Spanyol dan Portugis. Tetapi, bahasa lain yang sangat terkait dengan kedua bahasa besar ini adalah bahasa Galisia. Orang Portugis memahami bahasa ini yang asal muasalnya dari bahasa Latin kasar, meski kelompok ini kini nyata-nyata bermukim di wilayah yang masuk teritori negara Spanyol. Kata “Calamento” dalam Bahasa Galisia berpadanan dengan arti: menjadi tenang atau menenangkan. Sebuah kata populer kita, yaitu: “kalem” mungkin dapat menjadi rujukannya. Calamento ringkas kita maknakan saja sebagai pribadi yang membuat segala sesuatu menjadi kalem, tenang, dan teduh.
Tentu hanya pemberi nama pribadi ini saja, yaitu ayah dari figur kita ini, yang tahu persis ihwalan cita-cita, harapan dan gagasan yang tersembunyi di balik nama itu. Memang bertentangan dengan pandangan William Shakespeare, sastrawan besar Inggris, yang seolah menyepelekan pengaruh atau influensi artian nama pada seseorang, sebagaimana rumusannya yang terkenal itu: “What’s in a name? That which we call a rose/ By any other name would smell as sweet” (Apalah arti sebuah nama? Apa yang kita sebut “mawar”/ dengan sebutan nama lain tetap jua akan harum baunya).
Berseberangan dengan pandangan Shakespeare, Orang-orang Timur justru nyata-nyata menaruh dan berharap pada kandungan harapan dan aspirasi personal pada nama yang diberikan. Sikap khas dari masyarakat Timur itu soal nama itu sebagian pernah diulas oleh teolog Taiwan Choan Seng Song.
Calamento pantas disebut secara tiba-tiba muncul di horizon (ufuk) dunia politik pemerintahan Kabupaten Bolaang Mongondow. Fatsalnya, dia sekonyong-konyong ditahbiskan menjadi Penjabat Bupati, padahal tidak diusulkan oleh daerah (kabupaten dan provinsi) serta di luar dari pakem-pakem politik yang ada dan dijaga di daerah. Muasalnya, dia telah didorong oleh pihak Kemendagri dengan efek dari penguasa baru yang memang juga berhak dalam penentuan penjabat gubernur, bupati dan walikota jelang Pilkada Serentak 2024. Dalam bahasa populer orang lazim menyebutnya Calamento ini “didorong oleh langit”.
Tetapi bukan hanya nama dan pengesahannya sebagai Penjabat Bupati Bolmong yang fenomenal. Tapi kala bersua dengannya hanya dalam waktu pendek saja, kita serta merta kita akan terpapar dengan “magma” semangatnya untuk berbuat sesuatu atau untuk berkarya. Rokoknya yang terus dinyalakan dan asap yang mengepul menjadi pengiring percakapan seolah kepulan atas “mantra-mantra” kemajuan yang ingin ditapakinya. Dia selalu ingin bergerak mendahului urgency. Sekali lagi dia ingin mendahului urgency. Segala sesuatu ingin dibuatnya cepat.
Hanya dalam waktu sekilas saja misalnya, dia mengambil keputusan untuk menempatkan seorang anak telantar ke rumah dinas bupati. Karena itulah, namanya sontak meroket. Karena tindaknya itu telah memicu orang-orang untuk ikut peduli dalam membantu sang anak yang terlantar dan terabaikan itu. Berbagai fasilitas kebutuhan dan permainan anak mengalir berjubel di ruang penampungan anak di rudis itu.
Karena peristiwa itu, Rumah Dinas atau Rumah Jabatan Bupati bukan lagi tempat sakralitas officialdom (keangkeran dunia para pejabat); bukan lagi tempat kaum berdasi yang datang mematut diri dengan gaun, jas, pantalon serta parfum dalam seremoni khas kaum pemerintahan; juga bukan lokasi para pialang proyek untuk melobi kekuasaan pejabat pemerintah dalam urusan penentuan proyek bernilai miliaran rupiah.
Sisi lainnya adalah model pendekatan khasnya pada orang-orang kecil. Dia dapat dengan enteng masuk ke dapur kantin kantor bupati untuk sekadar menambah kopi atau gula ke dalam cangkirnya. Dia juga berkunjung ke para mantan pejabat dengan kerendahan hati tulen. Beberapa bahkan dikunjungi bukan dari arah pintu depan, tetapi dari pintu dapur. Ini membuat “nyonya” rumah kelimpungan membenahi segala tata letak barang di area dapur agar terlihat neces sedikit.
Tetapi, Calamento juga seorang yang tak kalah tersohor dalam urusan membangun suasana ceria di pesta-pesta masyarakat yang dihadirinya. Melebihi adik perempuannya yang penyanyi itu serta yang lumayan populer di dunia tarik suara blantika Sulawesi Utara, Calamento sejujurnya bukanlah penyanyi saja, karena dia adalah “entertainer” alias pencipta suasana gembira atau suasana enjoy dalam isitilah khas mantan Gubernur-Jenderal E.E. Mangindaan. Calamento tidak sekadar “mempesona”, tetapi “menggairahkan” dalam urusan penciptaan suasana sukacita dalam atmosfir riang gembira ala pesta-pesta di Bolaang Mongondow Raya.
Dia tulen tidak berniat membangun kesan citra dirinya sebagai pribadi nan mempesona seolah lagak burung Merak dengan bulu dan jumbainya yang aduhai, tetapi dia mampu mendorong orang-orang lain untuk dengan tulen bersukacita dengan apapun potensi-nyanyi yang ada padanya. Calamento mencipta suasana bagi semua orang untuk bernyanyi dan bergembira. Dia berbaur dalam nyanyi sembari bercanda akrab. Itu yang membuatnya makin dihormati orang. Sungguh dan titik.
Semua jati diri dan kemampuannya berbaur sedemikian rupa merombak kisi-kisi khas feodalistik yang merasuk di Bolmong, karena itu orang pun berceloteh, “Kenapa bukan dia yang mencalonkan diri menjadi calon bupati definitif untuk Pilkada Serentak Bolmong 2024 kini?”
Nah, akhirnya hanya dalam sebulan masa sampling yang pendek sebagai pemimpin daerah dengan tiba-tiba orang-orang Bolmong tergerak mencalonkannya ke pilkada, atau ke ajang kepemimpinan definitif. Tentu aspirasi itu bukanlah sesuatu yang merupakan pakem dari penugasannya, karena tugasnya toh sekadar menjadi bagian pemerintahan yang memfasilitasi terselengaranya Pilkada Bolmong 2024.
Di bulan kedua dari masa kerjanya itulah kisah alias kalam dari Calamento. Dia semakin banyak didorong mesti memilih antara persneling penugasan biasa yang sedang dijalani, atau pindah persneling ke kontestasi politik, yaitu karena bakatnya yang mumpuni sebagai pemimpin populer. Apapun pilihan untuk kedua opsi itu jelas akan menguntungkannya, karena itu kelihatannya dia akan lebih memilih berjalan dengan gigi persneling yang ada saja. Tetapi, ya ada “tetapi”nya, dia juga menyatakan “kecuali langit menyatakan yang lain.”
Mari menunggu saja kalam Calamento berikutnya dari langit.
Sementara itu, Calamento tak berleha-leha, dia turun lapangan. Dia mesti melakukan mitigasi terkait bencana banjir yang melanda Bolmong. Jika dia berhasil lagi, mungkin langit pun tidak berdaya untuk menahan aspirasi rakyat. “Vox Populi, Vox Dei”.///