TOTABUAN.CO POLITIK — Isu primordial tak terelakkan hajatan politik Pemilihan kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut 2020. Sejumlah pihak menggoreng isu suku dan agama untuk beroleh elektabilitas.Yang paling heboh adalah isu tentang Bolaang Mongondow Raya (BMR). Lihat saja di medsos. Sejumlah akun bodong menyerukan agar BMR pilih BMR.
Meski ajakan ini marak, tapi sejumlah pihak meyakini, tak akan mempengaruhi akal sehat warga dalam menentukan pilihan.
Mantan anggota DPRD Bolmong Yusuf Mooduto berpendapat, isu primordial tak lagi relevan di Bolaang Mongondow Raya (BMR). Masyarakat BMR sudah cerdas untuk menentukan pilihan berdasarkan rekam jejak serta kapabilitas.
“Tidak relevan lagi. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, sudah mudah mencari rekam jejak calon pemimpin kemudian menganalisa. Rakyat sudah mudah menilai apa benar yang dijanjikan sesuai dengan sejarah hidup dan riwayat kepemimpinan mereka. Rakyat sekarang sudah rasional,” kata Yusuf kepada wartawan Kamis 5 November 2020.
Menurut Yusuf, Pilgub bukanlah ajang pemilihan kepala suku. Tapi untuk memilih pemimpin yang dapat membawa kemajuan bagi daerah. Alasannya pemilihan kepala suku, belum tentu yang ada sekarang.
Dia menambahkan, semakin banyak tokoh masyarakat BMR yang gabung dengan ODSK. Itu karena mereka melihat ODSK punya semua kualifikasi untuk memajukan Sulut, temasuk di dalamnya BMR.
Mooduto mengimbau warga BMR untuk tidak terpengaruh isu murahan, tapi melihat jauh ke depan. Di depan ada kawasan Industri Mongondow yang nantinya akan menyerap ribuan tenaga kerja di Sulut.
Ketua Fraksi PKB Bolmong Supandri Damogalad meyakini kedewasaan berpolitik warga BMR. Warga BMR, sebut dia, akan memilih figur pluralis yang dapat memajukan daerahnya.
“Warga Bolmomg sudah dewasa dalam menentukan pilihan,” kata Supandri sembari mengingatkan semua pihak agar tidak menjauhi sentimen agama dalam Pilgub 2020.
Sebelumnya Budayawan Bolmong Chairun Mokoginta angkat bicara mengenai politik identitas yang kerap menyeret etnis Mongondow ke dalam pusarannya.
Menurut Chairun, terdapat empat kriteria pemimpin dalam kebudayaan Mongondow. Pria yang sudah meneliti adat Mongondow sejak tahun 1970 ini mengaku, tak ada keharusan orang Mongondow memilih Mongondow.
“Itu tidak ada. Selama meneliti saya tidak menemukan referensi orang Mongondow harus pilih Mongondow. Kalau ada yang berikan referensi perlu dipertanyakan dari mana itu berasal,” katanya beberapa waktu lalu.
Ia menyebut empat kriteria tersebut. Pertama, Moko Dotol atau patriotisme. “Pemimpin harus mampu menjaga wilayah, memberi rasa aman dan nyaman kepada rakyat,” katanya.
Kedua adalah Moko Rakup atau mengayomi seluruh anggota masyarakat. Ini berkaitan demgan masalah ekonomi. Selanjutnya adalah Mokodia atau amanah. Artinya pemimpin harus konsisten. Dan terakhir Moko Anga yang berarti baik dari sikap dan perilaku.
Moko Anga dahulunya jadi kriteria pengkaderan Bogani. Ia mengatakan, empat kriteria itu sejalan dengan tiga karakter orang Mongondow. Ketiga karakter itu mencerminkan sikap orang Mongondow yang demokratis. “Mo’o ulean atau bila terjadi gesekan dan benturan sesama, maka diselesaikan secara damai. Kedua, Mo’o Aheran atau saling menghargai. Jadi orang Mongondow itu saling menghargai. Siapa pun yang datang ke Mongondow harus diterima. Ketiga, Mobo Bangkalan atau saling menghormati,” ujarnya. (*)