TOTABUAN.CO POLITIK –Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 masih menimbulkan kekwatiran politik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) money politik serta ujaran kebencian.
Hal itu dikatakan Komisioner Bawaslu Sulawesi Utara (Sulut) divisi penindakan dan pencegahan Mustarin Humagi saat membuka sosialisasi Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulut yang dilaksanakan di BPU Desa Luwoo Kecamatan Posigadan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Sosialisasi itu dihadiri komisioner Bawaslu Bolsel, para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan elemen masyarakat lainnya.
Mustarin mengatakan, Bawaslu diberikan amanat oleh undang-undang untuk tugas, fungsi dan wewenang yang antara lainnya proses penanganan pelanggaran dalam Pilkada.
Dalam sosialisasi itu Mustarin mengajak masyarakat untuk mengawasi proses jalannya Pilkada tahun 2020 dan tidak terpengaru dengan Money politik, isu SARA dan ujaran kebencian.
“Terlebih isu SARA mempunyai konsekwensi hukum bagi yang melanggar,” tegasnya.
Mustarin mengatakan isu SARA memilik efek yang memadai untuk elektabilitas seseorang atau untuk menahan elektabilitas seseorang.
Selain itu isu SARA tampaknya lebih banyak digunakan untuk menyerang dan menekan elektabilitas calon tertentu dan pada saat yang bersamaan ‘kekosongan’ itu bisa dimanfaatkan oleh calon-calon yang lain.
“Isu SARA bersifat lebih menyerang pada orang dan bersifat menekan atau menurunkan elektabilitas seseorang daripada menaikkan elektabilitas dan itu berdampak jangka panjang,” tuturnya.
“Jadi kalau dilihat dari dampaknya, ternyata politik SARA dampaknya jauh lebih dahsyat. Politik uang terlokalisir hanya di daerah tempat pilkada berlangsung dan relatif berjangka pendek karena orang datang ke TPS, suaranya dibeli. Dan itu harus dihindari,” ucapnya.(*)