Pukul 14.00 Wita, hawa dingin masih terasa di Desa Kolingangaan Kecamatan Bilalang Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Sulawesi Utara. Maklum, meski sudah siang, tapi hawa sejuk masih terasa karena desa itu berada di puncak, dan masih ditumbuhi pepohonan.
Untuk tembus di Desa Kolingangaan, butuh waktu hampir tiga jam. Di sana, tidak ada mobil angkutan, yang ada hanya mobil yang mengangkut kayu hasil olahan warga. Ada juga motor yang sudah dirancang khusus tapi tidak untuk disewakan.
Beruntung kita dapat mobil tumpangan milik Camat Bilalang jenis Toyota Double Cabin yang kebetulan menuju ke desa itu.
Infrastruktur jalan sejauh sembilan kilometer memang belum dibangun. Mereka belum merasakan arti dari kemerdekaan meski bangsa Indonesia sudah bebas dari penjajahan asing.
Hal itu bukanlah tanpa sebab dan dasar yang jelas. Betapa tidak, warga di bagian pedalaman Kabupaten Bolmong ini, selama 75 tahun Indonesia merdeka, belum menikmati infrastruktur dasar seperti jalan aspal, air minum bersih, dan sinyal telepon.
Jalan sepanjang sembilan kilo meter itu belum dirabat apalagi di aspal. Begitu pula dengan air minum, mereka masih mengandalkan air sungai. Sementara untuk sinyal, mereka harus berjalan kaki sejauh lima kilometer.
Melewati jalur itu dengan mobil, harus melewati bebatuan dan tanjakan serta sejumlah anak sungai dan perlu skil.
Salah satunya adalah Andik Mokoginta yang mengaku hampir saban hari melewati jalan tersebut. Dia merupakan sopir Camat yang empat bulan lalu ditunjuk sebagai Pjs kepala desa Kolingangaan. Meski medan terasa berat, namun Andik tampak santai mengendarai mobil.
Sepanjang jalan, sesekali bertemu dengan mobil yang mengangkut kayu olahan. Kayu-kayu olahan yang tersusun, mudah kita lihat di samping jalan dan tinggal menunggu untuk diangkut oleh pembeli.
Lebih dua jam perjalanan, kami tiba di desa Kolingangaan. Suara mesin chainsaw yang membela kayu, mengiringi cerita dengan Sekdes Kartolo Mokodongan Sabtu 22 Agustus siang itu.
HUT ke 75 yang dirayakan Senin 17 Agustus itu, rupanya masih membekas di kampung pedalaman itu. Bendera merah putih tampak masih berdiri dan terpasang di depan rumah-rumah warga. Momen HUT kemerdekaan itu, tetap dirayakan bagi warga desa.
“Selamat datang,” sambut Kartolo sambil mempersilahkan duduk.
Kehidupan di desa Kolingangaan seperti ini katanya. Lihatlah, jalan yang masih sulit dilalui. Begitu juga dengan sarana telekomunikasi.
“Di sini tidak ada sinyal,” sambungnya sambil tersenyum.
Untuk menelepon, biasanya warga di sini harus menempuh perjalanan menuju puncak Tuduntuwan. Di sini juga, fasilitas belajar online di masa Pandemi, tak berlaku. Sebab, selain tidak ada jaringan telepon dan internet, para orang tua tidak mampu membeli smartpohone. Sehingga, guru lebih memilih mengumpulkan siswa belajar kelompok.
“Di sini, hanya ada beberapa warga memiliki hand phone. Itupun hand phone jadul,” sambungnya.
Sulitnya sinyal telekomunikasi dan layanan internet, memberi dampak bagi kehidupan warga. Begitu pula infrastruktur yang kurang mendukung, membuat warga yang didominasi petani, sulit untuk menjual hasil pertanian. Untuk menjual hasil pertanian seperti Kemiri, butuh biaya sewa motor 150 ribu. Jika kebutulan ada mobil yang mengangkut kayu, warga bisa menumpang tanpa bayar.
Sinyal telepon di sini menjadi barang mahal dan sulit didapat. Hand phone baru bisa digunakan, kalau ke luar desa.
Di era informasi berbasis digital ini, semestinya jaringan internet semakin memudahkan aktivitas warga. Namun sayangnya, hal itu belum dinikmati bagi warga yang tinggal di pedalaman.
Makna HUT ke -75 kemerdekaan RI tahun ini, belum sepenuhnya dirasakan warga Kolingangaan yang saat ini butuh perhatian pemerintah terutama soal pemenuhan infrastruktur.
Namun diyakini lewat momentum HUT ke 75 kemerdekaan tahun ini, akan menjadi jawaban atas ketertinggalan pembangunan wilayah pedalaman.
Kurang lebih sembilan kilometer akses ke desa belum tersentuh sama sekali kata Kartolo. Sehingga itulah biaya transporasti sangat mahal.
Di desa ini, seluruh warga berprofesi sebagai petani. Sebagian besar warga masih bergantung dengan hasil pertanian. Seperti kemiri, jagung, cengkeh, kelapa dan hasilnya dijual ke lua desa.
Sebenarnya kata Kartolo, pemerintah desa sudah mengusulkan pembangunan jalan lewat Musrenbang. Namun hingga saat ini belum terealisasi. Apalagi saat muncul wabah Covid-19.
Di Desa Kolinggangan dihuni 90 kepala keluarga atau 344 jiwa. Mesi begitu warga sudah mulai menikmati jaringan listrik setelah bertahun-tahun menggunakan lampu minyak.
“Kalau jaringan listrik sudah masuk pada tahun 2018. Karena sebelumnya dari lampu minyak ke solar sel pada tahun 2015,” kata Kartolo.
Hampir dua jam bercerita, Kartolo mengajak kita melihat suasana kampung. Di sana hanya ada tiga dusun. Dia juga memperlihatkan beberapa rumah tinggal layak huni (RTLH) yang sudah berdiri saat dibangun tahun 2019.
“Kalau program RTLH yang masuk di desa ini mulai tahun 2018 dan tahun 2019. Pertama dapat 3 unit dan tahun 2019 lalu dapat 40 unit,” katanya.
Namun meski begitu, masih banyak juga warga yang belum mendapatkan bantuan RTLH. Itu terkendala karena banyak yang belum memilki KTP elektronik. Alasan warga belum mengurus administrasi kependudukan kata Kartolo, karena butuh biaya untuk menuju kantor Dukcapil yang terletak di ibu kota kabupaten.
Sarana infrastruktur bagi warga yang tinggal di pedalaman merupakan hal yang penting. Hal ini akan memberikan kemudahan.
“Membangun infrastruktur adalah membangun bangsa. Seperti jalan, jembatan, jaringan telepon, puskesmas, sekolah, sarana dan fasilitas air bersih serta sarana lainnya,” kata Kartolo sambil menyapa warga.
Bagi Kartolo, tujuan membangun infrastruktur adalah menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan akses pelayanan untuk warga khusunya mereka yang tinggal di pedalaman.
Dia bercerita, hampir semua warga Kolinggangaan pernah jalan kaki untuk cari sinyal. Yang paling sering adalah ketika terjadi peristiwa tanah longsor, atau ada peristiwa lainnya yang sifatnya genting.
“Kalau jalan bagus, hanya dua jam saja ke kota. Tapi karena kondisi jalan rusak, jadinya kita dengan motor bisa sampai tiga jam. Kalau dengan mobil, lebih lama lagi,” ujarnya.
“Kami butuh sinyal dan infrastruktur jalan. Itu yang selama ini kami rindukan. Kami sangat berharap ini direspon pemerintah,” sambungnya.
Waktu sudah beranjak sore, tampak warga mulai pulang dari kebun. Keceriaan bocah-bocah yang bermain sekaligus menyambut kedatangan orang tua mereka yang seharian mengayuh cangkul demi sebuah harapan.
Harapan akan selalu ada bagi mereka yang selalu berusaha dan berdoa. Kelak semua akan menikmati bahwa sekecil apapun usaha akan membuahkan hasil.
Bagi warga Kolingangaan di momen HUT ke 75 kemerdekaan ini, banyak mimpi yang masih terpendam. Sebuah mimpi yang membuat mereka belajar arti sebuah perjuangan. Dan sebuah mimpi yang memberi mereka pelajaran agar selalu berusaha tanpa pernah ada kata menyerah. Menyerah pada sebuah keadaan, menyerah pada sebuah impian dan menyerah pada sesuatu pilihan hidup. Karena, disaat kita memilih untuk menyerah, semua akan berakhir.
Kerasnya sebuah kehidupan terkadang membuat mereka berpikir ribuan kali untuk meraih cita-cita. Kebutuhan yang banyak, ekonomi yang terkadang tidak menentu membuat sebuah batu sandungan berada tepat di hadapan kita. Namun, tidak pernah tahu, bahwa rencana Tuhan akan jauh lebih indah.
Mereka selalu bersemangat dan terus diajarkan bagaimana bangkit dari sebuah keterpurukan. Mencoba hal-hal yang baru, bermimpi setinggi langit, dan menjaga sebuah impian itu agar suatu hari nanti impian anak cucu mereka akan tercapai.
Kini, meski tanpa fasilitas penunjang, warga tetap menikmati tentang indahnya kesederhanaan. Berkumpul bersama keluarga menjadi hal yang utama sambil berfikir untuk besok.
Di HUT ke-75 kemerdekaan ini, engkaulah tetap Indonesiaku. Perjuangan para pahlawan akan tetap diterus menjadi penyemangat untuk tetap berjuang melawan keadaan. (*)
Penulis: Hasdy