TOTABUAN.CO HUKRIM — Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang sudah bertahun-tahun menggerus hutan di wilayah Bolaang Mongondow Raya terus menjadi polemik di kalangan pemerhati lingkungan.
Bahkan tidak sedikit mendesak aktivitas PETI yang ada dibeberapa titik seperti Blok Bakan, Tanoyan, hutan Dumoga, Lanut serta lokasi lainnya ditutup karena mencemari lingkungan dan sudah merusak hutan.
Kapolres Bolaang Mongondow AKBP Gani Fernandi Siahaan pun ikut angkat suara ketika dimintai tanggapan dari sejumlah wartawan. Menurut dia, sangat mendukung penutupan PETI asalkan terlebih dahulu harus mencari solusi.
“Saya dukung penutupan PETI. Namanya juga illegal. Tapi sebelum penutupan PETI cari solusi dulu. Karena aka nada dampak sosial yang bakal terjadi. Pemerintah daerah harus terlibat,” tutur Gani yang didampingi Kasat Reskrim AKP Hanny Lukas (13/11).
Menurut mantan Kanit Tipikor Polda Sulut ini, pihaknya akan menyiapkan semua kekuatan pasukan untuk melakukan penutupan aktivitas PETI disemua wilayah yang ada di BMR. Namun semua harus didahului dengan sosialisasi dulu.
Lantas apa Polres mendukung lokasi tersebut dijadikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Menurut Gani, justru hal itu sangatlah tepat. Dia mengatakan, usulan lokasi PETI untuk dijadikan WPR merupakan salah satu solusi. “Karena kegiatan PETI tersebut berkaitan dengan pendapatan dan ekonomi masyarakat,” paparnya.
Gani mengatakan, upaya mencari penyelesaian PETI sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab Negara dalam wewujudkan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, lanjutnya, sebaiknya para pengelolah PETI untuk mengusulkan ke pemerintah daerah diadakannya WPR, yakni kegiatan pertambangan rakyat dengan izin, alias resmi.
“Dengan adanya WPR, maka pertambangan yang dilakukan oleh rakyat menjadi resmi. Dengan demikian masyarakat memperoleh manfaat ekonomi berupa lapangan pekerjaan dan penghasilan, demikian juga Pemerintah Daerah memperoleh tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” jelasnya.(**)