Assalamualaikum. Wr. Wb
Teriring salam dan doa untuk kita semua, semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin
Setelah hampir sepekan sejak menonton secara live Indonesia Lawyer Club (ILC) dengan judul “Badai Corona” di stasion tv swasta terkenal di Indonesia, saya merasa ada yang mengganjal dalam hati sehingga harus mengelus dada. Tak pelak rasa itu timbul dikarenakan beberapa pernyataan dari Bapak Menteri Prof. Yassonna Laoly dan juga pernyataan dari Bapak Menteri Prof. Mahfud MD yang hingga saat ini masih terngiang di telinga saya dalam acara tersebut. Sebelum lanjut perlu pembaca ketahui bahwa saya hanyalah orang daerah di pelosok Provinsi Sulawesi Utara. Saya bukanlah berlatar belakang pendidikan hukum, bukan pula pemerhati hukum, saya hanya lulusan Strata Satu (S1) Manajemen di Universitas Swasta yang berada di daerah Kotamobagu. Saya adalah masyarakat biasa yang bangga menghirup udara di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sudah selayaknya juga sebagai masyarakat harus turut mengapresiasi dan mengkritisi kebijakan-kebijakan “para pemilik Negeri ini”. Ok lanjut,
Di mulai dengan adanya Pandemic Covid 19 atau virus Corona sebagai ancaman global, bapak Menteri Yasonna setelah melalui rapat terbatas dengan presiden dan memperhatikan Himbauan dari komisi tinggi HAM PPB berkaitan Pandemi Covid 19 yang berlaku diseluruh antero dunia, maka bapak menteri Yasonna mengambil sikap untuk mengeluarkan Permenkumham nomor 10 tahun 2020, yang inti Permenkumham tersebut yakni membebaskan narapidana di angka tiga puluhan ribu dengan beberapa persyaratan dan ketentuan telah menjalani 2/3 masa tahanan, tetapi bukan untuk tahanan Tipikor atau tahanan yang masuk kategori PP 99 tahun 2012. Lanjut bapak menteri Yasonna menggambarkan tentang isi hati dari sisi kemanusian dengan menyampaikan kondisi Lapas dan Rutan over capacity yang penghuninya jauh dari kata layak, kondisi staf yang tidak bisa menjamin bahwa virus corona tidak masuk kedalamnya melalui mereka walaupun telah melewati standard protokol kesehatan yang dikarenakan seluruh staf tinggal diluar Lapas dan Rutan serta bapak menteri Yasonna menyampaikan kondisi hamper seluruh dunia yang bersikap untuk membebaskan narapidana akibat wabah pandemic ini, terkecuali narapidana kejahatan seksual (silahkan nonton kembali siaran ulang ILC terkait pernyataan bapak menteri Yasonna minggu malam). Nah dari penjelasan yang disampaikan bapak menteri Yasonna dari sisi Hak Asasi Manusia, saya menangkap bahwa pandemic global ini bisa juga berlaku untuk semua tahanan tanpa diskriminasi untuk tahanan di seluruh Indonesia ketika PP 99 Tahun 2012 di revisi dengan memperhatikan kaidah syarat pembebasan.
Selanjutnya pernyataan bapak menteri Menkopolhukam Mahfud MD bahwa Indonesia memilih tidak membebaskan tahanan koruptor (perhatian publik) dengan tidak membandingkan sikap negara lain termasuk Amerika yang bebaskan tahanannya akibat pandemi Covid 19 terkecuali fedofil.
Di sini saya menilai dengan adanya wacana kepada tahanan koruptor tersebut, ditanggapi berlebihan oleh Bapak menteri Mahfud MD yang dimana pernyataannya bahwa persoalan “kebijakan” terhadap koruptor nanti setelah wabah Virus Corona lewat dan jangan kaitkan dengan virus corona. Ayolah pak menteri Menkopolhukam sisi kemanusiannya lebih ditonjolkanlah sama halnya Bapak Yasonna Laoly, ini pandemic loh pak.
Tidak harus menunggu pandemic lain muncul baru untuk dijadikan pertimbangan atau menunggu terpapar para tahanan termasuk tahanan koruptor yang bapak menteri Mahfud MD maksud.
Karena agak geli juga mendengarkan penyataan bapak menteri Mahfud MD yang lebih menekan pada tahanan koruptor, dimana pernyataan bapak bahwa tidak bisa membandingkan dengan Negara lain pada kondisi pandemic covid 19. Bapak bukan lagi praktisi hukum, tetapi bapak adalah menteri, hargailah pandangan Bapak Menteri Yasonna yang sedari awal menggambarkan dengan membandingkan pemberlakuan tahanan dengan Negara lain. Saya yakin bahwa bapak Menteri Yasonna lebih sering mengunjungi Lapas dan Rutan di Indonesia dibandingkan Bapak menteri Mahfud MD.
Saya bukannya mendukung para tahanan koruptor ini harus bebas, tetapi kapasitas bapak menteri Mahfud MD yang sangat mumpuni mampu menilai dari dua sisi yang berbeda. Saya yakin pernyataan bapak soal tahanan koruptor jangan kaitkan dengan virus corona bukan berdasarkan desakan KPK atau ICW. Karena saya juga meyakini bahwa KPK dan ICW oknum-oknumnya bukanlah malaikat, karena ada beberapa referensi bisa menjadi rujukan bahwa KPK dan ICW tidak seindah yang gembar gemborkan di khalayak umum (baca: https://jbm.co.id/2020/04/04/reaksi-atas-putusan-menteri-mengenai-pembebasan-tahanan-atas-dasar-menghadapi-bahaya-pandemic-corona-yang-menelan-korban-jiwa-manusia/).
Belum lagi pada awal wacana sebelum terbitnya Permenkumham nomor 10 tahun 2020,ICW menggunakan contoh SN bisa bebas, padahal SN baru saja masuk dan masih jauh dari 2/3 hukuman, yang sangat jelas tidak memenuhi kriteria pembebasan yang sedari awal diwacanakan oleh Bapak Menteri Yasonna Laoly, terus juga oleh Najwa Shihab melalui video yang berseliwiran di beranda media sosial.
Di mana Najwa sudah menyebutkan kriteria, namun yang ditonjolkan adalah SN, dan masalah teknis, fasilitas dll. Padahal masalah pandemic adalah ancaman global terhadap kesehatan dan hak untuk mendapatkan lingkungan kesehatan. Dan tak lama setelah Najwa Shihab merasionalisasi dengan narasi yang begitu terpesona dan menusuk, surat dari Napi Koruptor pun dilayangkan kepada Najwa Shihab dari Ya’qud Ananda Gudban salah satu terpidana koruptor yang menceritakan kondisinya didalam (baca: https://www.timesindonesia.co.id/read/news/262945/surat-untuk-najwa-shihab-dari-napi-koruptor-kelas-jelata).
Oh ya, bicara tentang ICW, saya juga teringat peneliti atau aktivis ICW Bapak Donal Fariz pada tahun 2017 adalah salah satu tim seleksi calon Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yang bersifat adhoc dalam melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2018. Timsel tersebut yang salah satunya adalah bapak Donal Fariz bekerja selama 3 bulan lama untuk menyeleksi peserta, termasuk saya untuk daerah Kota Kotamobagu. Kalau tidak salah untuk peserta Kota Kotamobagu berjumlah tidak lebih dari 20 peserta yang akan disaring oleh timsel sampai 6 peserta yang kemudian di FPT oleh Bawaslu Sulawesi Utara untuk dipilih 3 terbaik dari 6 peserta tersebut. Intinya Timsel tersebut selama melaksanakan seluruh tahapan seleksi saya sebagai peserta tidak pernah melihat batang hidung dari Bapak Donal Fariz, mulai dari proses seleksi berkas, pengumuman lulus berkas, Tes Tulis yang dilaksanakan di hotel sutanraja kotamobagu, lulus tes tulis bagi peserta, hingga lanjut tahapan wawancara oleh Timsel bagi peserta yang masuk 12 besar (termasuk saya) untuk disaring menjadi enam. Setiap tahapan ini ada pleno-pleno dari seluruh timsel tersebut. Selama proses tahapan ini sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak pernah melihat batang hidung dari Bapak Donal Fariz selaku Timsel, sebagaimana tugas yang diamanatkan kepada beliau. Saya kayaknya harus mempertanyakan kok bisa seorang aktivis ICW kawakan nasional bisa menjadi Timsel di daerah paling utara pulau Sulawesi terus tidak pernah muncul untuk menjalankan tugasnya sebagai Timsel? Bukankah Timsel dalam menjalankan tahapan seleksi ada konseskuensi anggaran Negara yang berkaitan dengan uang kehormatan, akomadasi dan sebagainya untuk Timsel.
Semoga saja bapak Donal Faris selama menjadi Timsel yang saya maksud di atas, tidak pernah menanda tangani kesedian menjadi Timsel, tidak pernah menandatangani berita acara pleno Timsel di setiap tahapan, tidak pernah menerima honor/uang kehormatan sebagai Timsel, tidak pernah menerima uang akomodasi dan lain-lain yang menjadi hak anggota Timsel waktu itu dikarenakan ketidakhadiran bapak dalam menjalankan tugas sebagai Timsel waktu itu.
Kembali ke topic ILC, ada yang sangat menarik apa yang disampaikan oleh bapak Menteri Yasonna Laoly di luar panjang lebar beliau menggambarkan sikap Negara-negara berkaitan dengan hak asasi manusia dengan adanya pandemic covid 19. Tetapi kayak dimentahkan oleh Menteri Mahfud MD, yakni hal menarik tersebut ketika Bapak Menteri Yasonna menyampaikan filosofi di Rutan atau Lapas adalah PEMBINAAN. Pembinaan yang maksud adalah Punish atau reward bagi tahanan yang berkelakuan baik yang tujuannya membina agar menjadi manusia yang baik setelah keluar dari tahanan terkecuali tahanan koruptor dan deretannya yang disebutkan PP 99 tahun 2012. Tetapi, Bapak menteri menjelaskan bahwa ketika para tahanan koruptor bersama deretannya yang termuat dalam PP 99 dimaksud ketika sudah sampai di Lapas maka sudah berlakulah pembinaan bagi tahanan, yakni hak untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga hingga mendapatkan remisi. Inilah nilai etika hukum dengan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang disampaikan oleh Bapak Menteri Yasonna Laoly. Untuk itu sebelum menutup tulisan yang kampungan ini, saya mengajak kepada kita semua untuk tidak perlu berkeras hati, tidak perlu dibenturkan dengan nafsu balas dendam, karena nafsu balas dendam tak mengenal HAM. Belum cukupkah keputusan Mahkama Konstitusi yang dimana Tahanan koruptor yang telah menghirup udara segar dari NKRI ini atau bebas mereka harus rehat selama 5 (lima) tahun dalam mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah pasca bebas?.
Saya sangat berharap kepada para pemilik negeri ini berfikir secara jernih untuk mengambil sikap agar seluruh tahanan mendapatkan Punish dan reward (remisi) selama berkelakuan baik di dalam tahanan dengan merevisi PP 99 Tahun 2012 dan menanggalkan nafsu balas dendam di tengah wabah pandemic covid 19. Jangan jadikan Rutan dan Lapas tempat kuburan massal bagi penghuninya akibat corona virus ini, jangan kembangkan alergi kita kepada tahanan koruptor yang sedang menjalani masa tahanan atau mantan koruptor yang telah selesai menjalani masa hukuman karena kita bisa merasakan kondisi bagaimana “hidup dalam tahanan” saat ini yakni dengan menjalani dan mengikuti himbauan pemerintah stay at home di tengah kondisi wabah corona yang tidak tahu kapan berakhir, coba bayangkan 2 atau 3 hari kita berada saja dalam rumah terasa seperti hak kita telah dirampas, itupun saat kita berada dalam rumah mengikuti himbauan pemerintah stay at home, kita berada di tengah-tengah bersama dengan keluarga yang kita cintai tetapi kondisi ini tetap saja kita harus bergegas untuk keluar rumah dalam rangka menghirup udara segar dengan alasan ada hal yang penting yang harus dikerjakan diluar rumah. Kita bisa membayangkan tahanan yang disebutkan dalam PP 99 tahun 2012 yang tidak mendapatkan reward atau remisi walaupun mereka telah berkelakuan baik dalam tahanan, yang sangat jelas.
Disebutkan oleh bapak menteri Yasonna bahwa tugas mereka adalah melakukan pembinaan setelah itu memberikan reward kepada seluruh tahanan (tanpa terkecuali) yang telah berkelakuan baik selama menjalani hukuman di dalam Lapas dan Rutan. Kalaupun tidak berlaku bagi tahanan yang disebutkan dalam PP 99 Tahun 2012, maka dengan adanya pandemic covid 19 atas nama Hak Asasi lakukakanlah revisi PP 99 tersebut, Karena dengan merevisi PP 99 tahun 2012 langit Indonesia tidak akan runtuh.
Demikian, Billahitaufiq walhidayah
Wassalamua’laikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Asram Abdjul
(Aktivis Kotamobagu)
Saya sebagai istri dari narapida yang terkait pp 99 2012.berharap besar agar revisi pp 99 2012 agar segera di revisi..tolong berikan pertolongan bagi suami saya dengan di revisi nya pp 99 2012..karna tidak semua orang sudah mendapat pembinaan akan berulah lagi.
Bkn masalah bls dendam ini konsekwensi hukum bung
Percuma